Tuesday, April 26, 2011

Plain or Ignorance?

Plain...
That is the feeling
I don't really know how I should feel
how I should take care of my heart
and why I shouldn't ignore the sparks

I pretend not to have them all
Rather than I lose them at the end
again
like before

Well, that's why
Just shut up
If you do not really know how to deal with a HEART

and I forgot how to deal with a heart
so that's why
I'm gonna shut my mouth up!

and let the one
slap my face and wake me up
so that I will be talking
in the name of love
again

Sunday, April 24, 2011

My Lovely Saturday: April 23, 2011

Today is so lovely!

I joined HASH (after a long time I don't get involved) again... Well, it was great... I missed running in the long track, drinking some 'beers' after finish (not really beers, it's just soft drink w/ 0% alcohol. They have the 'real' beers though) and conquering the long track while chatting with some friends on the way.
Well, Semarang House Hash Harriers comprise of some expatriates and local people.

Today, the site was in Gedawang, Mega Bukit Mas. It's still being developed to be a residential area. Yet, some of the areas are still 'virgin'.
Well. virgin here doesn't mean 'it's never touched' but it is still natural as it is.

I enjoyed every moment there. I love to see the views. It's great to meet the local people there, practicing my Javanese (that actually I'm not really good in it). I feel excited to walk on the rice fields, cross the small river and try to find the track by seeing the shredded paper left by the Hare.
We walked and ran up and down the hills. It was awesome. Anita, Emma and I were there together.
I was happy to see my shoes covered up with the mud. Haha...

Something that I learned from this long track walking is that actually, I did not really know how long the distance was in the beginning (it's actually 6 km (only).). So, I walked and ran just following the shredded paper without knowing where and when I could get back to the beginning point. It's just like my life. I don't really know where and when I will find my last point but I just do my best to finish each track of my life...

I was walking and walking, running and running, up and down the hills. My goal was just to finish the track and that's it. I should conquer that long track! (even though this was the first time for me to exercise after a long break due to nephrotic syndrome). I was afraid if I couldn't finish the long track as it's quite steep when we were going up and slippery when going down.

But yes, I finished that! haha...
I was left behind (4th from the last) but i did enjoy that...
It left me with a few scratches on my legs as it was because of my stupidity to wear shorts! I stepped on many thorny plants and they scratched me.. Ho ho ho.. I love to be sweaty as well. It's been a long time I don't do this kind of activity.  I feel fresher!

To continue what I wrote last time about "Sneakers vs Stilettos".... This is it! I love to be with my sneakers in this kind of occasion rather than with my stilettos in a party that I should disguise myself, my feeling and really think about 'manner'. Here, I can run and walk and shout and scream and shut up and chitchat with my friends. I can sing and take pictures of the natures as well.
I don't hate parties with stilettos, or any occasions that force me to wear my stilettos. But yeah... I found it comfortable to be with sneakers than with stilettos.

So, still, I wanna be with sneakers... They make me more adventurous and I get my own freedom to be myself!
Thanks a bunch to my sneakers!

Can't wait for next week! Let's rock!


Linggayani Soentoro
April 23, 2011



Friday, April 22, 2011

Ada apa dengan perkawinan masa kini?

Dua minggu terakhir ini, saya mendengarkan sharing 3 teman saya yang baru saja menikah. Umur perkawinan mereka masih sangat muda. Dan ketiganya mengatakan hal yang sama: Perkawinan mereka bermasalah. 
Saya sendiripun belum (pernah) menikah. Dan belum pernah merasakan menjadi seorang istri dan atau ibu. Namun terkadang, bahasan perkawinan di majalah - majalah, mendapat atensi yang cukup besar dari saya. 
Ada lima masalah mendasar (menurut saya) yang bisa saya ambil dari sharing ketiga teman saya:
 
Problem pertama:
Ketiganya mempersoalkan kebiasaan - kebiasaan yang dilakukan oleh suami - suami mereka yang mereka anggap tidak wajar. Mereka tahu saat mereka berpacaran, kebiasaan ini dilakukan, namun tidak di depan mata mereka. Saat mereka melihatnya, mereka tidak dapat 'menerimanya'. 
Sebenarnya apa bedanya, saat mereka sudah mengetahui kebiasaan tidak wajar itu dari kata - kata, dan saat mereka menjalani hidup berkeluarga secara langsung?
Ataukah ini hanya sebuah bentuk kekagetan pasangan muda?
 
Problem kedua:
Ketiganya mempersoalkan masalah finansial, yang mana mereka seharusnya sudah mempersiapkan dan rencanakan sebelumnya. Keberadaan rumah, besar kecilnya rumah, pembelian keperluan sehari - hari, perabot rumah, siapa bekerja siapa tidak, siapa harus mengeluarkan uang, siapa harus memberi siapa kenapa jadi masalah?
Apa tidak ada komunikasi sebelumnya?
Toh saat 'single' pun, kita mempunyai skala prioritas dan rencana keuangan sendiri? Atau tidak?
 
Problem ketiga: 
Ketiganya mempersoalkan ttg VISI HIDUP. Aku pengen begini, tapi dianya nggak mau begitu. Aku ga mau mendidik anakku seperti bapaknya nanti. Eemmmpphh... Kenapa? Apa kau tak cukup mencintai bapaknya dan latar belakangnya? Dan kau sudah tahu itu. Perkara anakmu mau bagaimana, apa itu tidak menyalahi hak asasi? Biarkan dia memilih, mau seperti bapaknya yang tidak kau sukai latar belakangnya ataukah seperti ibunya (yang mungkin bapaknya jg tak menyukai latar belakangnya) atau seperti ayah dan ibu tetangga? Tak perlu lah muluk - muluk untuk sebuah keinginan, cukup penuhi apa yang ada 5 meter ke depan. 
Seperti sorot lampu mobil, jaraknya pun terbatas pada jarak pandang tertentu, hanya menjangkau beberapa meter ke depan. Tapi toh untuk berjalan 100 kilometer, tetap sampai. Karena semua memang harus dilakukan secara bertahap.
 
Problem keempat:
Dua dari tiga mengatakan bahwa kehidupan perkawinan mereka membosankan. Saya tak tahu bagaimana rasanya menikah, belum tahu tepatnya.
Tapi saya pernah merasakan bagaimana pacaran itu. Mungkin dengan tingkat kedewasaan dan dengan menghadapi permasalahan yang berbeda.
Namun, saya yakin, seharusnya, dengan perkawinan, hidup jadi lebih berwarna. Paling tidak, ada seseorang di samping kita untuk dicintai dan mencintai.
Entah, mungkin setelah janji perkawinan (entah itu di depan penghulu, pendeta, ulama, romo, atau siapa lah itu..) segalanya menjadi berubah.
 
Problem kelima:
Mereka mudah sekali mengatakan PISAH/CERAI? 
Ada apa dengan mental mereka. Mama saya pernah berkata, apapun yang terjadi, PANTANG mengucapkan kata - kata tersebut di atas.
Jika perkawinan adalah sebuah komitmen, semudah itukah mengatakan dan/atau memutuskan untuk berpisah?
Apakah tidak ada jalan lain yang lebih bijaksana dan dewasa, untuk menyelesaikan masalah - masalah mereka?
Saya tidak tahu, apakah saya juga tahan uji dengan segala cobaan hidup perkawinan. Namun bagaimana komitmen mereka dengan Tuhan?
Buat apa menikah juga toh akhirnya cerai, tak dapat mempertanggungjawabkannya pada sesama dan Sang Khalik?
 
Jadi, apa esensi dari sebuah perkawinan?
Janji yang tak perlu ditepati?
Hanya demi status sosial, karena takut 'terlambat'?
Berlangsung begitu saja, yang penting menyelenggarakan pesta demi gengsi, setelah itu lupa diri?
 
 
 
Linggayani Soentoro 
April 22, 2011
 

Slices of World Youth Day 2008

Day 1
Catechism that we have got was awesome. It's really answering my questions.
Once I was asking like this, if God forbids Adam and Eve to take the forbidden fruit, why should God provide it?
Then it was answered.
Actually, God gave Adam and Eve choices. They got their privilege to get everything in Eden except the forbidden fruit as the forbidden fruit is a symbol of both choice and limit as a human being. They took it and it means that they broke their own limit and fell into sin. Sin is also beyond our limitation as human beings. Sometimes, we don't realize that we do something and it's sinful.
So, we have limit and it's not true that we can go beyond our limit as human beings. In this perspective, if we go beyond our limit, we will fall into sins. God provided the forbidden fruit as the symbol of the limit for Adam and Eve. Yet, it's not the limit for the devil to take them to their sins.
Thus, we can call it as a sin because it's beyond our limit and it's not recommended by God.
In our life, sometimes we really face this condition. We know and understand that God gives us choices. Many choices to be taken in this world, from the good ones to the bad ones (provided by the 'earth' and beyond our limit). Shall we take the bad one and break our own limit so we just easily fall into sin? or we just take for granted of the choices and never think them over...(whether it's good or bad, it's important for our development as human beings and God's children?
Thus, we need the presence of the Holy Spirit in our lives to help us choose the good and the bad ones. We get the Holy Spirit as we were baptized as baptism is a fundamental choice to respond God's call to a decision and commitment as Christian. How beautiful it is to be Christian by answering God’s call, saying ‘YES’ to God by the work of Holy Spirit for our transformation.
Jesus is the perfect ‘YES’ to God and we are changed from our original ‘NO’ to God to be ‘YES’ by baptism. It means the reconciliation with God as well.
So, as Christian, we need to be proud as we were baptized and for sure Holy Spirit is working on us, transforming our lives to be better. So, when we are unsure and confused to decide/take some choices in life, ask Holy Spirit to go with us.

Day 2
Asking for the Holy Spirit, Asking for Its Gifts
There are several gifts of Holy Spirit:
1. Wisdom: understand something not from our own perspectives but from the perspectives of God
2. Understanding: forgive and give the second chance. It’s the connection between heart and mind. To gain the understanding is by praying.
3. Knowledge: gifts from God in form of intellectual thought
4. Right Judgment: holding, carrying, and transforming not only by intellectual thought.
5. Courage: to do things in spite of the obstacles. It takes a lot of courage not to walk away from faith.
6. Reverence: respect to see every value from every body.
7. Wonder and Awe: realization how God is (God is WONDERFUL & AWESOME).

Day 3
Holy Spirit as the Actor/Agent in the Reminiscence of the Church
We are not the primary actor of making the church. As we’ve got HOLY SPIRIT in our lives by our baptisms, Holy Spirit is working on it.
It’s recommended for us to be relaxed and cooperate when we are receiving the HOLY SPIRIT in our lives. Furthermore, with the help of Holy Spirit, we have missions to be accomplished:
1. To tell the truth together. The truth is JESUS. We have to surrender ourselves to the truth: JESUS because of His redemption. Telling the truth can be in form of evangelization: to spread the good news about Jesus Christ.
2. To share: telling about Jesus in form of spiritual gifts (sacrament of Eucharist). We should give it to others or it will not live in you. We should share LOVE and bring God as the distinctive of our lives as God loves us, God is merciful and God is LOVE. So, as human beings, we should love someone. As someone is LOVE, someone is to love and someone is to be loved. This reminds us to find a right relationship with God and others.
Reflection: Look at the world, we are divided into many social status, religions, groups, tribes, nationalities, races, etc. Sometimes we fight each other only to defend ‘the status on earth’. Who will tell others to LOVE each other as brothers and sisters?
Church is universal and united, we are actual and we are in! So, take this mission and LOVE others.
3. Charity and Justice: With LOVE, we will establish charity and justice in our world.
In the end of the session, I was asking like this: How can I love those who are killing others (even in the name of God) for the sake of their own? For me, it’s against human right and it’s out of the capacity of human beings.
I shared this question to some friends as I didn’t get any opportunity to ask.
Some of my friends said like this, it’s our vocation to love those people/organizations. It’s our challenge. It’s our duty to spread love to them, even with the greatest risks you’ll get.
I remembered with the pattern of LOVE – HOPE – FAITH:
If we successfully spread LOVE others without looking at their conditions, we will be able to give them HOPE and finally they will have FAITH.
And we, as the witnesses to the world, to spread the good news about Jesus Christ, have already had FAITH in our heart. We should give others HOPE from our FAITH and from it, we can spread LOVE to others.
 
Linggayani Soentoro
August 2008

Incorporating the Universality of Christian Values in the Global Ethics' Point of View through Christian Higher Education

The existence of globalisation in the world has given much alteration in many aspects of human being’s life. Globalisation in one hand has changed the perspective in the interaction of human beings with the borderless, cross-cultural, and rapid communication. Yet, in the other hand, globalisation has become the potential source of conflict caused by the injustice situation, social gap, and the loosing of the cultural values, as well as discrimination in many aspects.
Thus, the universal societies within this universe need the global ethics. The global ethics put itself as the key to develop and create better circumstances in the universe: the interaction among the global human beings, justice, the equity in human rights, and democracy. Those things are the main elements of the global issues, which will be the principles of the global ethics.
The people in this world should develop a global ethics which can be applied equally in everything that is involved in the world affairs. Global ethics is one media to have the universalism as the fundamental principle. Hence, the equality of the human beings is brought in the first place. Equality has the closest relationship with the human rights. The universal human rights states that human beings are born equal, and all of them may enjoy the rights without concerning class, gender, race, community, or generation.
This is our duty to keep the environment of the world for our future generation. We have to take care of and use all the environmental resources for all the people needs: for all the members of present and future generation. So that, they can also enjoy the same opportunities as we have right now. Future generation will be our responsibility and our duty that we should concern it from now on.
What should we do to keep our future generation having their rights to enjoy the global environmental resources? It can be answered by the people themselves. The ability on creating a better global circumstance made by the people depends on the people themselves. Bottom-up approach will be an effective way to change and create a well-pattern framework in the globalisation circumstances. The starting point will be the individual himself. Having a good-quality individual can be derived from the educational institution.
Educational institution leads the future generation with the educational and ethical issues. Through this institution, the generation in this universe will be equipped with the awareness towards the changes global issues, open-minded individual to see the globalisation as medium to understand the cross-cultural and ethical values. The specific kind of the educational education is the highest level of the educational institution; university. Within this level of educational institution, the generation will be made up to have a critical thought, an independent personality, and idealism concept based on their intelligence and maturity. It is the purpose to prepare the generation to face the ever-changing social circumstances in the globalisation era (where the global ethics is placed as the central point).
Christian higher education is one type of formal educational institution, whose mission and vision is based on the Christian values; charity. Through its vision and mission, the students will be equipped with the values and responsibility to face the global society and the global issues, in form of fraternity, solidarity, and tolerance. Hence, if the students as the next generation already had the moral basis, ethics values, and developing intelligence, they would have the ability to implement those all things in the social life, where the global ethics are exist. In this way, the Christian values are applicable in the global ethics issues: human rights, democracy, and justice.
The implementation of the global ethics through the higher education can be done through many ways. The first example, the higher education can cooperate with NGO (non-governmental organization) to implement the global ethics directly to the society in its surrounding. Secondly, the educational institution should promote the mutual understanding within its surrounding, nation and global environment by holding an activity, like conference about issues that occur in its surrounding and in the world, or about the cross-cultural understanding. It may also come with the student exchange for example in the provincial/regional, national and international level. Thirdly, the higher education should realize that they are the part of the society, so they should also serve the society as the main part of the educational institution. Serving the society with the charity will give a best result for the better circumstances. Option for the poor for example, can be one of the missions that should be implemented by the people within the educational institution who should concern not only to the academic purposes, but also to the existence of the society in their surrounding.
The role of the Christian Higher Education should not be just limited on educating the young generation with the sophistication of science and technology but focusing on the implementation on that knowledge for the betterment of the world community. This is in one hand by integrating the students’ commitment to serve as agent of change in the nearby community and social environment. Globalisation should not be an issue if the matter of humanitarian and social affairs is concerned. In fact, it should become one of the strength points in enhancing the widespread of commitment throughout the world based one universal principled and values.
Giving the world’s commitment to halt the spread of poverty and humanity degradation, Christian Higher Education should equip the young generation with the spirit and commitment to care and take action in response to the ever-changing world around them. This should be especially incorporated in the Christian Higher Education’s curriculum and community services activities which should give a greater opportunity for the students to be involved in the social-empowerment projects.
It is highly expected that the young generation will be equipped with the feeling of concern for their surroundings. They are expected to be the vanguard of democracy and human rights in the future, to take pride in everything they contribute to the betterment of the society based on the Christian values and to promote the mutual cross-cultural understanding based on the networks they have built themselves with their fellow-students around the world.
Finally, the Christian higher education will be able to share a contribution to the global society in implementing the global ethics, and the global ethics will be able to be applied in each individual to reach the greater community, the global citizen. As the wise man says, “even the one thousand miles journey begins with one step forward” should become the spirit that enshroud the mind of the young generation that it takes courage and utter commitment to start making changes. Idealistic young mind should go side by side with the perspective of the real world surrounding them.
This is the idea of incorporating the universality of Christian values into the real work of humanitarian activities in the real world. The global ethics will become the guideline principles that will lead the young generation into the implementation of their shared idealism and the commitment to act. One point, the global ethics will bind them in one value, unity and belief to serve as agents of change in the real world, our world.

Linggayani Soentoro
Sent and presented in International Student Conference, Chinese University of Hong Kong
June 2005

Empati

Terkadang kita tak memahami, apa yang sedang terjadi...
di depan mata, di kanan dan kiri kita...
Mungkin bukan kita tak BISA memahami... namun kita tak MAU memahami...

Hanya butuh EMPATI
tuk memulai semua pemahaman...

Hanya butuh EMPATI
tuk mengerti apa yang sedang terjadi...

Hanya butuh EMPATI
tuk mengerti tujuan semua ini...

EMPATI adalah resonansi kekuatan diri...
tuk melahirkan pribadi yang tahu diri...

Semoga dengan EMPATI kita semakin kuat diri, tuk lebih mengerti orang lain dan menghargainya...
sehingga dapat memanusiakan pribadi....

Linggayani Soentoro
October 1, 2009

Momentum Kehidupan

Dalam setiap kehidupan kita, pasti terdapat momentum. Momentum itu selayaknya kasus serendipity, yang muncul tanpa kita duga, tanpa kita rencanakan, di luar pikiran kita. Namun, di balik kehidupan ini, sebenarnya ada "Sesuatu" yang telah merencanakan ini semua dan menuliskannya dengan baik. Mungkin banyak orang berkata bahwa itu adalah suratan takdir. Tapi saya lebih nyaman menyebutnya Momentum Kehidupan.
Terkadang banyak orang yang datang dan pergi dalam kehidupan kita, ada hal - hal yang tanpa kita duga terjadi secara spontan saja, ada koneksi - koneksi baru yang kita dapat tanpa kita bisa memikirkan bagaimana hal itu terjadi. Mungkin saja, saat itu kita tidak sedang memikirkan orang itu, namun tiba - tiba bertemu dan akhirnya menjadi sahabat baik.
Saat ini, mungkin saya menyadari bahwa banyak sekali momentum yang pada saat saya menerimanya, saya tidak dapat menduganya, bahkan tidak dapat merencanakan apa yang ada di depan. Saya sangat bersyukur, dalam setiap kejadian atau moment yang terjadi dalam kehidupan kita membuat saya lebih mengerti apa arti kehidupan ini. Sekalipun saat - saat tersebut membuat saya sakit atau sedih, namun saya percaya bahwa "Ia" menginginkan saya belajar dari semua yang saya dapat. Dan saya yakin, dengan melalui semua momentum ini, pada akhirnya saya akan dapat membagikannya pada orang lain, sebagai berkat tentang pembelajaran hidup.

Thank you God, for all the happiest and the saddest moments You've given me, to enrich myself to be more mature! I know You have purposes on me.. to be the blessings for others

Linggayani Soentoro,
Semarang, 8 March 2009

hidup dua puluh lima tahun

Tak terasa, ku telah hidup selama dua puluh lima tahun
Sama saja dengan seperempat abad

Namun, apa yang paling penting? Apakah lamanya waktu?

Pencapaian, itu yang menurut saya penting
Pemaknaan hidup, itu yang menurut saya penting
Kemauan untuk bangkit dari 'jatuh', itu yang menurut saya penting
Memaafkan dan mengampuni, itu yang menurut saya penting
Melakukan yang terbaik dan tak pernah menyerah, itu yang menurut saya penting
Kemampuan untuk bersyukur dalam segala hal, itu yang menurut saya penting
Kesadaran akan orang - orang di sekitar, itu yang menurut saya penting

Pencapaian dalam dua puluh lima tahun terakhir,
melibatkan banyak orang dalam hidup saya
Pewarnaan hidup selama dua puluh lima tahun ini,
melibatkan pula banyak manusia,
Kebangkitan dari jatuh,
juga tak lepas dari bantuan para malaikat tak bersayap
Kemampuan untuk bersyukur dalam segala hal,
juga karena doa para teman dan sahabat

Ukiran – ukiran dalam kehidupan saya,
Warna – warni dalam kehidupan saya,
Membuat saya sadar,
Bahwa banyak orang telah membuat hidup saya berharga dengan
Mencintai saya
Menyayangi saya
Menuntun saya
Mendukung saya
Menghargai saya
Mendoakan saya
Membantu saya
Menolong saya
Memberikan ilmu pada saya dan
Menukar pengalamannya,
Memperhatikan saya
Mempercayai saya
Melindungi saya
Menjadi berkat dan teladan bagi saya,
Memaafkan saya dan
Memberi saya kesempatan, untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi

Terkadang saya malu,
Terkadang saya sedih,
Berpikir,
Bahwa saya pernah menyakiti hati mereka,
Membuat mereka sedih
Dan melupakan mereka sejenak,
Dan bahwa saya tidak dapat membalas kebaikan mereka,
Bahwa saya tidak dapat memberikan apa yang telah mereka berikan untuk saya,
Bahwa saya tidak dapat melakukan apa yang telah mereka lakukan terhadap saya,


Namun ku bersyukur,
Karena hingga kini, saya diperkenankan untuk mengenal nama – nama yang mengisi relung kehidupan saya,
Yang selalu menemani dan mendengarkan keluh kesah,
Yang selalu mencoba untuk mengerti dan memahami,
Yang pernah tinggal dalam hati dan menyisakan kenangan terindah bagi sejarah kehidupan,
Yang pernah mengisi kehidupan dengan berbagai kebaikan hati,

Untuk itu saya menulis, tuk mengucapkan TERIMA KASIH
Bagi orang – orang terdekat
Yang telah mewarnai kehidupan dua puluh lima tahun ini…

Karena kau telah menjadi berkat bagi kehidupan ini…


July 20th, 2009


With Love and Pray,

Linggayani Soentoro

Curi Budaya Negeri Kita

Saat semua pihak sedang beramai - ramai mempergunjingkan pencurian budaya negara kita oleh Malaysia..

Tidakkah kita sebaiknya berpikir, mengambil hikmahnya..
Bahwa selama ini kita kurang memperhatikan nasib budaya negeri ini..
Bahwa selama ini kita dibutakan oleh budaya lain... yang mungkin juga kita curi...
Bahwa selama ini kita kurang mampu melihat kekayaan bangsa kita sendiri..
Bahwa selama ini kita sedikit malu untuk memakai dan memperkenalkan budaya negeri..

Nah, apakah kita masih punya hati untuk andil dalam carut marut kasus ini?
Harusnya kita berpikir, kita merenung, kita merefleksi..
Apakah kita sudah pantas disebut bangsa yang berbudaya?
Ya, kita memang memiliki budaya, tapi apakah semua dari kita tahu budaya kita?

Merefleksi bukan berarti mengalah dan menyerah..
Bukan berarti kita diam..
Bukan berarti kita bungkam..
Namun, perjuangan tetaplah dibutuhkan..
Tuk mempertahankan kredibilitas budaya bangsa ini..
Bahwa sebenarnya kita kaya.. sehingga bangsa lain pun memperebutkannya..
Seharusnya kita bangga akan kekayaan budaya bangsa ini...
Seharusnya kita peka, bahwa sebagai generasi muda, tugas itu ada di pundak kita..
Untuk tetap melestarikan budaya negeri...

Tunjukkan, bahwa kita masih pantas memiliki budaya bangsa ini.. menjaga dan memeliharanya hingga anak cucu kita nanti...

Semoga mata hati kita semakin dibukakan akan hal ini..
Tidak serta merta terprovokasi, akan carut marut dua negeri!
Melainkan berpikir kritis akan nasib bangsa ini!



Linggayani Soentoro
August 31, 2009

Kutemukan Tulisan Itu Hari Ini....

Ternyata harga dari sebuah keheningan hati sangatlah tinggi.
Manusia dengan jiwanya yg kompleks, terkadang terlalu menyusahkan diri sendiri,
Kadang tidak tahu bagaimana cara melarikan diri dari masalah yang sedang melanda hati.
Kadang keheningan hati dibutuhkan..
Dengan keheningan, dapat merasakan manis pahitnya hidup.
Dengan keheningan, dapat merasakan dan berpikir apa arti hidup yang sebenarnya..
Dengan keheningan, hidup dapat menyatu dengan jiwa.
Sekalipun sunyi.. Sepi...
Walau begitu...
'kan kutanya lagi, bagaimana manusia menjalani hidup hingga mati nanti?
Merasa dalam hingar bingar atau berpikir pasti dalam sunyi..?
Mati pun terasa sepi, kan?
Jadi kenapa menyiksa diri?
Nikmati sejak dini! Apa yang bisa dinikmati...!
 
Linggayani Soentoro
Jakarta, December 8, 2003

Cinta Tanpa Rasionalitas adalah BASI!

Ketika keindahan cinta yang demikian agungnya rusak.
Ketika kedamaian terusik di bawah kepak sayapnya.
Ketika keutuhan cinta terkikis oleh kebutuhan dan kemasyikan dunia.

Tak perlulah mengawali segalanya dengan rayuan.
Tak perlulah memulai dengan kepura-puraan belaka!
Tak perlulah menjanjikan keindahan cinta jika Sang Pemandu tak tahu arahnya.
Tak perlulah menawarkan surga dunia jika tak tahu apa esensi dari cinta itu sendiri!
Karena kini, cinta tanpa rasionalitas adalah B.A.S.I!
Maafkan saya, wahai para Pujangga Cinta, janganlah kau marah karena kata-kataku ini..
Karena ku yakin ada banyak manusia yang masih bisa memahami esensi dari cinta itu sendiri..

(Tiba-tiba muncul pertanyaan dari dalam diri, sebenarnya apa yang kau cari?)

Kujawab, kesederhanaan dalam memaknai hidup dan cinta itu sendiri. Kemauan mewujudkan kesemuanya itu bersama.. Atas nama cinta dan rasionalitas.. Bukan berdasar pada kecantikan dan kemewahan belaka..

Linggayani Soentoro
November 19, 2009

International Oblate Youth Encounter and World Youth Day 2008, Melbourne - Sydney, Australia

Bagi saya, IOYE dan WYD 2008 itu seperti hadiah yang mengingatkan kembali akan iman yang terkadang pasang surut.
Mengapa saya sebut hadiah, karena bagi saya, kesempatan ini tidak datang pada semua orang dan ini cukup membuat saya merasa gembira, seperti anak yang mendapatkan kado di hari ulangtahun.
Kesan saya secara khusus pada kegiatan IOYE di Melbourne. Menurut saya, kegiatan tsb sangat terorganisir dengan baik dan memberi contoh pada saya, baik dari leadership/organisasi dan tanggung jawab. Panitia di sana patut diacungi jempol karena memang benar2 berusaha dan bekerja keras. IOYE bagi saya juga ajang untuk festival - festival budaya dan menambah teman dekat. Di situ kita belajar banyak sekali tentang budaya dari negara - negara lain (cross cultural understanding) dan masuk ke dalam dunia tentang bagaimana mengenal orang lain dengan berbagai latar belakang dan karakter. IOYE juga memberikan memori yang tak terlupakan bagaimana kebersamaan kita dengan teman2, baik dari Indonesia sendiri maupun dari negara - negara lain.

Rasa senasib sepenanggungan dari teman - teman Indonesiapun sangat terasa karena di sana kita saling menjaga dan memperhatikan (terutama saat sakit). Dramatisasi jalan salib juga membuat saya terharu, karena saya merasa perjalanan hidup saya tidaklah seberat apa yang dialami Yesus.
WYD 2008 sangat membantu saya dalam perkembangan iman, terutama saat katekese di host parish. Sesi ini sangat berguna bagi saya dan telah menjawab apa yang pernah saya tanyakan. Berbagai festival dan perjalanan juga menghiasi kehidupan saya, karena banyak hal yang terjadi saat itu dan memberikan pelajaran bagi saya, baik secara mental maupun spiritual. Secara mental, saya diuji untuk berusaha mengerti orang lain dan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi mereka (terutama teman2 1 grup). Secara spiritual, banyak hal yang saya lihat dan alami yang memberi kelegaan dan kedamaian hati, terutama saat melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Di situ beberapa teman memberi kesan bahwa perjalanan itulah yang menyadarkan bahwa itulah gambaran hidup. Perjalanan yang jauh dan melelahkan untuk sesuatu tujuan yang menyenangkan dan melegakan. Selain itu, saya juga memiliki kesan yang mendalam saat diskusi kelompok yang sarat dengan sharing pengalaman hidup secara pribadi maupun organisasi di gereja. Itu juga memberikan pelajaran bagi saya bagaimana kehidupan teman2 di luar Jawa yang harus survive dan menantang alam demi terwujudnya sebuah komunitas iman yang solid.

Kehidupan dalam kelompok juga sangat majemuk. Perjalanan sehari - hari dengan kelompok telah memberikan pelajaran yang baik bagi saya untuk lebih mengerti orang lain yang memiliki karakter yang berbeda - beda. Kedewasaan seseorang di sini tidaklah ditentukan oleh usia namun lebih pada penguasaan diri. Walaupun saya bukan seorang yang sempurna dalam kedewasaan, namun saya rasa melalui kegiatan ini, kedewasaan saya dan teman - teman pasti lebih terbentuk. Self awareness dan social awareness pun mulai tampak lebih jelas melalui kegiatan ini. Walaupun timbul gesekan - gesekan, namun jika saling mengerti, memahami dan berani berkata dan mengkomunikasikan segala sesuatu dengan baik, maka gesekan itu akan pudar.

Bagi saya, kesan yang sangat mengharukan adalah ketika harus berpisah dengan host families (baik dari Melb atau Syd), karena selama 1 minggu sudah diperlakukan dengan baik sekali dan kita berusaha berkomunikasi dengan mereka serta mulai timbul kedekatan dan rasa sayang satu sama lain. Di Melbourne, Fullers (our host family) benar2 membantu dan mengerti akan keadaan kami sebagai orang Indonesia (yang gemar makan nasi dan kehangatan). Mereka menyediakan nasi dan heater sehingga kami benar2 nyaman. Namun, kami belajar untuk hidup ala western dengan berusaha makan cereal dan roti. Di Sydney, Clements juga melakukan hal yang sama dengan memberikan perhatian dengan baik. Mereka pun merayakan ulang tahun saya dengan memberi kejutan chocolate mud cake dan vodka setelah pulang dari kota. Bagi saya itu sangat meriah karena itu pertama kali saya berulangtahun di negara lain. Perpisahan dengan mereka ditandai dengan foto bersama dan rasa haru. Di sana saya belajar banyak bagaimana hidup mereka dan hidup dengan mereka serta hidup di Australia pada umumnya.

Saya sangat berterimakasih sekali dan bersyukur untuk bisa mengikuti kegiatan ini. Terimakasih untuk memberikan saya segudang kenangan dan pengalaman yang tak kan saya lupakan. Semoga 3 tahun mendatang saya juga dapat mengikuti kegiatan serupa dengan segudang pengalaman berbeda yang pasti juga akan memperkaya dan menghiasi hidup saya.
Terima kasih untuk teman - teman dan Romo atas dukungan dan kepercayaanya.


Linggayani Soentoro
September 2008

Article on Sabitah Magazine, Trinitas Church, Cengkareng, West Jakarta
Title: Apa Kata Mereka yang Ikutan IOYE & WYD 2008?

Dengan Segala Kerendahan Hati

Kucoba mengerti akan semua yang telah terjadi..
Kucoba memasuki relung hati dan jiwa..
Untuk tetap menghargai dan menghormati sebuah pribadi..
Walau terkadang sakit hati ini..
Tak tahu mengapa harus dikatakan 'malu'
Tak mengerti mengapa semua harus ditutupi..
Tak ku pahami mengapa semua dirasa 'tak baik'..

Namun..
Apa sebenarnya kebaikan itu? Apa sebenarnya kebenaran itu?
Apa sebenarnya yang perlu dibuka dan ditutup..?
Mungkin ku masih belum pahami bagian - bagian hatimu..
Mungkin ku masih belum cukup banyak kumpulkan serpihan - serpihan masa lalumu..

Namun 1 yang kutahu..
Hanya ini yang dapat ku lakukan.. Tetap melakukan yang terbaik untuk selalu mendukungmu.. Untuk selalu berada di sampingmu
Untuk selalu siap berjuang bersamamu..
Atau mungkin berada di balik layar..
Yang mungkin hanya bisa melihatmu dengan bangga.. Saat kau mencapai semua cita - citamu..
Saat kau menggapai mimpi - mimpimu..
Dan mengembalikanmu sebagai sebuah pribadi yang utuh..

Maaf.. Jika ku tak bisa melakukan yang lebih baik dari pada ini semua..
Maaf jika ku selalu banyak membicarakan ketidakpuasanku..

Selamat!
 
Linggayani Soentoro
January 30, 2010

JATUH

Jatuh, baru saja ku jatuh.
Sakit, sedikit sakit. Namun ku tak mau menikmati rasa sakitku dan berlama - lama bersimpuh dalam jatuhku.
Kupikir ku jatuh karena kekosongan batinku, karena kekosongan jiwa dan hatiku. Karena kekalutan diriku. Tapi seolah kudisadarkan, bahwa semua itu karena ku mengosongkannya sendiri.
Saat ku jatuh, saat ku terluka, sesaat ku ingat apa yang pernah dikatakan oleh sahabatku, teman hidupku.
Ku harus kuat, ku harus dewasa, ku harus tegar.
Ya, karena itulah ku bangkit. Karena itulah ku berdiri lagi.

Sesaat setelah ku bangkit, ku merindukan suara sahabatku. Kuadukan padanya akan sakitku. Ku benar - benar rindukan suaranya. Tuk sejenak ku merasa lebih baik. Suaranya menyejukkan hatiku. Itu menyadarkanku bahwa ternyata hatiku masih menyembunyikan rasa itu. Rasa yang hanya kumiliki untuknya. Bukan untuk yang lain.
Namun, ia masih inginkan kesendirian. Seolah apapun tak menggemingkan nalurinya.
Ya, batinku, jiwaku, hatiku benar - benar kosong setelah ku sadar, ku telah mengosongkannya sendiri. Karena keterpakuanku padanya.
Padahal, ku tak dapat membuatnya bergeming saat ini karena ku telah mengosongkan batin dan jiwanya. Kurenggut kebebasannya. Kujatuhkan hatinya berkali - kali.
Bodoh memang, ku sia-siakan kesempatan ini. Kubuat semua ini tak karuan. Kubuatnya menderita. Padahal kebebasan itu penting baginya. Karena itupun pernah terenggut karena keegoisan masa lalu. Haruskah ku menghancurkannya lagi? Haruskah ku menghancurkan diriku pula? Tidak! Itu semua tak boleh terjadi.

Padahal ku esok kan pergi, pergi tuk merajut mimpiku, masa depanku. Namun, siapa yang tahu apa yang kan terjadi padaku di masa depan jika ku begini? Yang ku tahu, ku bisa meraihnya jika ku mau meraihnya dengan jemariku.
Ingin ku singkirkan sejenak Amerika. Ingin kusingkirkan sejenak kekalutanku. Ingin ku singkirkan sejenak rutinitasku. Karena ku tak mau menyingkirkannya dari relung hatiku. Ku hanya ingin merengkuhnya. Ku hanya ingin meraih hatinya. Ku hanya ingin menopangnya saat ini.

Karena jatuhku menyadarkanku.

Untung, aku jatuh!
 
 
 
Linggayani Soentoro
April 10, 2010

Sebuah Perspektif Lain dari Sebuah Pengkhianatan dan Perebutan

Apakah kau tahu? Mungkin dia tidak bermaksud merebutnya darimu. Mungkin dia tak bermaksud mengambil apa yang seharusnya kau miliki. Namun, dia baru saja mendapatkan cintanya. Cinta yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Karena dia belum pernah dikelilingi orang yang mencintainya sepenuh hati. Dia belum pernah merasakan perhatian kecil. Ya, walaupun itu hanya perhatian kecil yang mungkin kau tak akan mampu menyebutnya sebagai sebuah perhatian. Atau mungkin, kau akan berkata, "Ah, jangan terlalu besar hati, dia tak memperhatikanmu. Memang orangnya begitu."

Ya, itulah, manusia - manusia lain pasti akan berpikir dangkal, bahwa dia merebutnya. Atau bisa jadi, yang terebut, memang menginginkan untuk lepas darimu. Wah, kalau begini, siapa yang salah dan benar?
Tidak ada yang tahu, sebelum semuanya jelas. Dia pun juga harus tahu, bahwa apa yang dia alami itu tetap realita, bukan mimpi. Tapi, siapa yang tahu, jika dia hanya bisa merajut mimpi, bukan "reality". Siapa yang tahu, apa yang ditawarkan hanyalah omong kosong belaka, yang hanya berujung fantasi liar! Liar sama dengan WILD dan liar sama dengan PEMBOHONG. Kawan, fantasi saja tidak nyata, apalagi fantasi bohongan!

Ah, apakah kau juga tahu? Mungkin ia tidak sanggup melihatmu yang selalu memberikan segenap kebenaran dan ketulusan. Yang sanggup membuatnya berkata "lebih baik ku pergi saja, daripada ku menyakitinya. Dia terlalu baik bagiku."

Lalu itukah yang kau sebut pengkhianatan? Itukah yang kau sebut merebut? Tidak!

Karena BELIAU tidak sanggup melihatmu sakit, tidak sanggup melihatmu sedih, tidak mampu membuatmu bahagia, tidak tahan akan ketulusan cintamu padanya. Semuanya terlalu indah bagi Beliau! Beliaulah yang memilih pergi. Beliaulah yang memilih merajut mimpi. Beliaulah yang tak sanggup melihat kenyataan hidup. Beliaulah yang hanya sibuk dengan kepalanya sendiri.

Untung kau tak gila! Hahaha! Untung kau tak mati bunuh diri! Karena hidupmu nyata. Dan beliau hanya sanggup merajut mimpi! Hanya mimpi!

Jadi, sekarang kawan, kau buktikan saja,.. Berkhianatlah pada mimpi. Rebutlah "reality". Gapailah sesuatu yang nyata. Wujudkanlah!

Kawan, terima kasih atas perspektif lain yang kau berikan tentang PENGKHIANATAN dan PEREBUTAN!!

Dengan segenap cinta,

~Linggayani Soentoro~
July 3, 2010

Ah, Siapa Kamu? Siapa Saya?

Ah...
Siapa kamu?
Siapa saya?
Kamu dari kalangan orang berduit. Berapa duitmu? Berapa duitku?
Saya juga dari kalangan orang berduit. Tapi itu dulu.

Kamu dari kalangan orang berada.
Ada kamu ada mereka. Ada mereka ada kamu.
Saya belum tentu. Ada saya, belum tentu ada mereka. Ada mereka, belum tentu ada saya.

Kamu dari sana.
Aku dari sini.
Ah, mana bisa disatukan? Bisa sih, kalau memakai prinsip Bhinneka Tunggal Ika! (Maaf Indonesia, ku memakai semboyanmu!)

Kamu suka begini.
Aku suka begitu.
Kamu tak suka ini. Aku tak suka itu.

Kamu mau begini.
Aku mau begitu.
Apa bisa, satu kapal dengan dua nahkoda? Bingung kan!

Kamu ke sana.
Aku ke sini.
O la la... Betapa membingungkannya kehidupan ini.

Ah, memang sekali lagi kita tak pernah bisa bersama.
Semuanya terlalu berbeda.

Tapi, ku mencoba dengan segenap cita.
Ku pakai hati ini untuk menyatukan asa.
Ku berikan segenap rasa untuk menyamakan alur.
Ku sambungkan semua logika tuk membuat semua itu sirna.

Saat semua orang berkata, mengapa yang baik selalu mendapat TAHI!
dan mengapa yang buruk selalu mendapat EMAS!

Ah, itu hanya retorika!!!
Tidak begitu adanya...
Kau saja yang tak bisa melihat.
Alias kau yang buta!!
Kau tak tahu, di balik kehidupanmu sekarang.
Orang kaya pun bisa merasa iri padamu. Akan kebebasan yang kau punya.
Orang miskin jelas bercemburu ria dengan uangmu.
Ah tapi kau hanya punya uang. Yang tak bisa membeli kebahagiaan mereka.

Kadang temanku berkata,
Cepat sekali dia mendapatkan pasangan hidupnya!
Ah, masa sih...?
Lalu bagaimana dengan karirnya?
Oh, dia tak perlu berkarir! Timpal kawanku. Uangnya tujuh turunanpun tak kan habis!!!
Wah, itu kan duit Bapaknya! Bukan prestasi dia!

Ah, nggak tahu lah! Yang penting aku mau hidupku saja!
Hidup yang tak pernah muluk - muluk.
Yang tak pernah mencari Emas berlapis Tahi!
Ya!
Kehidupanku sekali lagi sederhana.
Bukan dengan life-style Amerika atau Eropa!
Bukan dengan emas atau permata! Tapi nggak pernah nolak kalo dikasi!
Ah itu lagi... !

Ku hanya bisa membekali anak - anakku nanti dengan hati!
Ku hanya bisa memberi mereka semangkuk naluri!
Ku hanya bisa membesarkan mereka dengan sejuta ilmu!
Ku hanya ingin melihat mereka menjadi MANUSIA SEJATI!
Yang masih memiliki hati dan budi.
Yang masih memiliki empati.
Yang masih memiliki naluri.
Yang masih MANUSIAWI!

Biar mereka tak tahu apa itu BlackBerry atau Gucci,
Tapi mereka tahu bagaimana memberi.
Biar mereka tak tahu apa itu D&G,
Tapi mereka tahu bagaimana mengasihi.
Biar mereka tak tahu apa itu Mersi (Mercedes Benz)
Tapi mereka tahu bagaimana mencintai dengan hati.

Karena kehidupan bagiku tak hanya berarti itu.
Karena kehidupan bagiku tak hanya membutuhkan materi.
Karena kehidupan bagiku tak kan membiarkan orang baik mati terinjak - injak.
Karena kehidupan bagiku tak kan membunuh naluri.
Karena kehidupan bagiku tak kan tinggal diam membiarkan manusia hidup tanpa rasa.
Karena kehidupan bagiku tak kan memenjarakan seseorang yang memperjuangkan kebebasan.
Karena kehidupan bagiku tak kan selalu berpihak pada Sang Penjajah.
dan karena kehidupan selalu ADIL!
Hanya urutannya saja yang berbeda.

Sekarang kau mendapatkan ini.
Besok kau juga mendapatkan itu.

Sekarang kau mendapatkan itu.
Besok kau juga mendapatkan ini.

Sama saja lah...
Sabarlah!
Semuanya akan menjadi baik - baik saja.
Menurut saat-Nya!

Makanya,
perbanyaklah waktu dengan-Nya.
Supaya mendapatkan kehidupanmu di DUNIA!



Linggayani Soentoro
July 18, 2010

TAKE IT or LEAVE IT!

Kehilangan itu, sudah tidak dipikirkan lagi.
Kata guruku,"Un de perdu, dix de retrouvés."
Ya, memang adanya begitu.
Tapi kesemuanya itu meninggalkan jejak yang tajam.
Saking tajamnya, hingga mengerdilkan hati untuk memulai sesuatu yang baru.
Tapi, sekali lagi. Banyak orang - orang sekitar mengajarkan tuk menjadi diri sendiri.
Ya, aku pun ingin begitu. Tapi tak tahu mengapa, ku tak bisa mengekspresikan kata - kata. Ah, mungkin ada sesuatu yang lain? Tidak!
Tidak tahu!
Yang jelas, diriku mengkerut saat ingin memulai. Terlalu banyak kekhawatiran.
Ah, tapi akan ku ingat - ingat saja apa yang dikatakan teman baruku itu tadi malam, "Hey, this is me, I don't care what people will think of me. So, just take it or leave it!" Ya... That's true!
Take it or leave it!
Saya yakin, setiap orang punya nilai. Yang mungkin akan menjadi sebuah kehilangan besar bagi sebagian orang yang melewatkannya begitu saja.

Ya, saya tahu itu.
Kehilangan besar tak akan hanya dirasakan oleh sebagian orang di luar dirinya. Tapi juga dirinya sendiri. Yang akan kehilangan jati diri jika tak menunjukkan siapa dirinya apa adanya.

Saya yakin, akan ada yang bisa menghargai dan bersyukur akan apa yang ada pada diri Anda, sebagai sebuah nilai yang sangat berharga.

Jadi, a big loss is a big loss. But if u stop and you don't wanna give it a shot, tak akan ada yang tahu, bagaimana diri Anda akan dinilai oleh orang lain. Dan dengan sendirinya, diri Anda takkan pernah tahu, seberapa tingginya nilai yang Anda punya.

~Thank you~
For giving me such an impression of this value!


Linggayani Soentoro
July 11, 2010

Mengajar dengan Hati

Teringat untaian semangat dari Pak Rhenald Kasali saat di Kick Andy
edisi Jumat 16 Juli 2010, saat mengatakan belajar di Amerika itu jauh lebih mudah drpd di Indonesia.

Dan ternyata tulisan berikut ini versi lengkapnya dari pernyataan Prof Rhenald, saat berkaca dari pengalaman anaknya.

Semoga bermanfaat bagi kita semua, para pendidik peradaban. Untuk teman, saudara, lingkungan maupun anak2 kita semua.

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. *

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. *

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai?

Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?"

"Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.*

*Budaya Menghukum *

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.

Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak- anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkan argumentasinya.

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang

nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia,saya harus
menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.

Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan
penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu
jawabannya. Mereka menunjukkan grafik grafik yang saya buat
dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. *

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan
saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di
Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.

Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke
pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita
mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk
verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang
berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang
berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya
melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

*Melahirkan Kehebatan *

Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan
hambatan dan rasa
takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus
yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita
dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...;
dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di
sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan
semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia
tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat
tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia
dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan
ada orang yang kurang pintar atau bodoh.*

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau
memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*) *

*RHENALD KASALI *

*Ketua Program MM UI*

O, Dear Lord!

O Dear Lord,
I am grateful for what I have seen today
I am grateful for what I have heard today
I am grateful for what I have got today
I am grateful for what I have felt today

O Dear Lord,
I thank You for my great parents...
for the great teachers and best friends around me...
for the students and little kids surrounding me...
for the relationships we've been through so far...

O Dear Lord,
I am thankful for the amazing plans I have made so far
I am thankful for the great achievements that I have achieved till today
I am thankful for the "never-ending" supports from all of them
who are always there when I need them most

O Dear Lord,
I would like to express my gratitude for your blessings
through the understanding and accomplishment of everything
that also lead me to the wisdom of life

O Dear Lord,
Please forgive me for what I have done...
the mistakes and faults
the negative thoughts and bad feelings
that I can actually stay away from them


O Dear Lord,
give me a heart that always forgives
give me a heart that always understands
give me wisdom to reveal the secrets of life
give me a heart that always loves unconditionally

O Dear Lord,
give me a chance to love him more
give me a chance to love her more
and give me a chance to love them more

Lead me in Your ways,
so that I am able to surrender every single thing unto Your hands...
Guide me and lift me up...
so that I am able to see the beauty of life
and Your never-ending miracles and blessings!

I Love You!
O, Dear Lord!
 
Linggayani Soentoro
July 27, 2010

I Love YOU

Reborn..
Reinstalled..
Restored..
Yes..
it was last night
I cried out loud
in front of You
You heard everything
I approached You...
I accepted You...
and You said, "Welcome back, Lingga!"
and after all, I felt released..
Then...
I screamed..
I shouted..
I begged..
to take this out..
and You just stood there...
Looking at me...
Deeply...
without saying anything...
I knelt down in front of You..
I felt Your hands...
Embracing me so tight...
You won't let me go...
Going out of Your way
You carried me again...
and took all feelings
that had burdened me before
to see the beautiful life and grace...
to feel the never-ending love I always get...
to hear comforting voices around me...
to realize the blessings in life...
I am lucky
and I'll always be...
I am blessed
and I'll always be...
I am happy
and I'll always be...
with You
here...
holding my hands
embracing me
and comforting me...
All I need to do is just to re-open my heart
to see the blessings
to realize the goodness
to breathe the new spirit
and to walk in the path...
and You are there to guide me...
and protect me...
as always...
cause I know
You love me so much!
I love You...
 
Linggayani Soentoro
August 18, 2010

Jeritan Malam (judul yang lebay) ;)

Sejenak kumenatap indahnya langit malam.
Kutemukan banyak bintang,...
Padahal, cuaca hujan.
Oh, ternyata, ku hanya bimbang...
Dan memohon kepada Tuhan...
Dan ternyata bintang - bintang...
Hanyalah kunang - kunang...
Yang membuatku melayang...

Oh, ternyata buku yang kubaca terlalu tebal
Sehingga membuatku tegang
Bukan kepalang

Entah ku yang bimbang
Atau memang sedang dirundung malang
Tugas-tugas pun bergelimpangan
Seolah riang menjemput petang
Dan esok ku harus kejar tayang...
Untuk sang Dosen tersayang...

Ah, tapi tak mengapa..
Ku masih sanggup, walaupun mata ini sudah berkunang-kunang...
Ku teguk pula secangkir kopi dengan berdendang...
Kupikir kukan sempat mengerjakan tugasku dengan riang
Tapi apa daya, demam pun tak berkurang...
Sehingga tak kuasa memaksaku tuk berjuang

Tenang...
Hanya tuk malam ini...
Ku tak senang...
Karena tubuhku serasa melayang...

Namun esok ku pasti senang...
Walaupun belum bisa menantang...
Apalagi jika masih meriang...

Oh dosen - dosenku tersayang...
Berilah ku kesempatan
Tuk merasa senang...
Jauhkanku dari tugas yang mencincang...

Cukup...!
Ku kan datang...
dengan tenang...
Di waktu siang...
Dengan tugas yang sudah kurancang...
Dengan matang...

Sampai bertemu esok siang, dosenku tersayang!

Dengan cinta dan kasih sayang


*lebay!!!!

Ditulis saat saya tak dapat tidur di malam yang tak berbintang..


Linggayani Soentoro
August 21, 2010

Apa Itu?

Ku tak tahu, kawan...
Ku ingin mencari arti dari segala sesuatu...
Namun, untuk yang satu itu, ku cukup merasa tak pandai.

Lebih baik kumakan habis saja satu buku tebal,
Ketimbang menjajah otak dan hati dengan definisi yang tak pasti.
Ku ingin mengerti..
Ajarilah saya...
Ku ingin memahami..
Berikanlah waktu...
Ku ingin mencintai..
Seperti layaknya cinta itu sendiri...

Ah, ada seorang kawan berkata, kau seperti wonder woman..
Apa itu?
Kau terlalu mandiri dan teguh..
Ah masa sih?
Kau tak membutuhkan orang lain?
Memang aku siapa?

Gila! Di satu waktu, ku berubah manja, masih ada yang tak suka.
Di kala lain, kuberubah menjadi singa, ada juga yang tak dapat menerima..
Lalu aku harus jadi seperti apa?
Jawabnya, "Menjadi diri sendiri apa adanya"
Ya ya... Ku ingat perkataan seorang teman, "hey, this is me! You want it, take it. You ∂σи'Ñ‚ want it, leave it!"
Kurasa, prinsip - prinsip itu masih kupegang teguh.
Walau manusia - manusia di sekitarku tak menentu.
Ku mampu menyelesaikan tanggung jawabku dan melihat segalanya dari sudut pandang berbeda...
Mereka bimbang..
Tapi kamu nggak stylish!

Ah masa nilai harus ditentukan berdasar dari stylish enggaknya?
Kau pandai bersikap, itu sudah cukup, katanya...

Kau pandai membawa diri dengan bijak, sudah cukup.

Dan kau dapat menghargai orang lain, itu pula sudah cukup!

Kataku, sudah kulakukan itu semua!

Ya, jadi pasti ada! Tenang saja!

O ya, saya tahu itu!

Ya ya... Kan kusambung lagi perbincangan itu esok hari...
Supaya ku dapat belajar lebih banyak lagi..

Ku baru melihat, kau mempunyai prinsip hidup..
Kau juga takut pada Sang Khalik..
Kau juga cukup dewasa dalam berpikir dan bertindak..
Lalu apa lagi?
Kau juga tahu arti penting keluarga..
Wah aku senang sekali!

Tapi ku rasa kau juga tak mau tahu..
Apa pentingnya memperbincangkan ini semua!
Toh tak ada untungnya buatmu..

Ku hanya wanita biasa..
Bukan wonder woman tiada tara..
Ku masih membutuhkan pengakuan dan perhatian...
Dan kau pasti berkata, "jangan lebay ah!"

Ih, terserah...
Mending ku mencari arah...
Supaya ku tak menyerah..
Dan tetap terarah..

Tenang, ku ingat semua yang kau ucap!
Walaupun kupasang "Poker Face" di wajah..
Biar sajalah..
Supaya kau juga tak merasa bersalah..
Sehingga semua menjadi susah..

Walah..sudahlah..
Ku mau menjadi ramah
Walaupun kau tak suka

Ku tak mau susah
Memikirkan semua yang hampir punah
Di kepala ku ini..

Ku mau jalani hidupku ini dengan banyak petuah..

Ku takkan berhenti berjuang..
Ku takkan berhenti berbuat baik..
Dan ku kan terus berusaha yang terbaik..

Satu lagi..
Ku ingin kau tampil rapi..
Ah, aku kan nggak branded?
Loh, emang rapi mesti branded?
Apa itu branded?
Semua yang dijual, pasti branded..
Yang penting rapi, nggak menjuntai kesana kemari.

Loh, kadang akupun demikian..
Ah sudahlah, ku pusing bukan kepalang...

Tak mau membuat suasana meradang...

~ ditulis untuk Sang Penulis ~
Linggayani Soentoro
August 21, 2010

Cukup itu Berapa?

Alkisah, seorang petani menemukan sebuah mata air ajaib. Mata air itu bisa mengeluarkan kepingan uang emas yang tak terhingga banyaknya. Mata air itu bisa membuat si petani menjadi kaya raya seberapapun yang diinginkannya, sebab kucuran uang emas itu baru akan berhenti bila si petani mengucapkan kata "cukup". Si petani terperangah melihat kepingan uang emas berjatuhan di depan hidungnya. Diambilnya beberapa ember untuk menampung uang kaget itu. Setelah semuanya penuh, dibawanya ke gubuk mungilnya untuk disimpan disana. Kucuran uang terus mengalir sementara si petani mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh rumahnya. Masih kurang! Dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya. Belum cukup, dia membiarkan mata air itu terus mengalir hingga akhirnya petani itu mati tertimbun bersama ketamakannya karena dia tak pernah bisa berkata cukup. Kata yang paling sulit diucapkan oleh manusia barangkali adlh kata "cukup". Kapankah kita bisa berkt cukup? Hampir semua pegawai mrasa gajinya belum bisa dikatakan sepadan dengan kerja kerasnya. Pengusaha hampir slalu mrasa pendapatan perusahaannya msh dibawah target. Istri mengeluh suaminya kurang perhatian. Suami berpendapat istrinya kurang pengertian. Anak-anak menganggap org tuanya kurang murah hati. Smua merasa kurang & kurang. Kapankah kita bs berkt cukup? Cukup bukanlah soal brp jumlahnya. Cukup adlh persoalan kepuasan hati. Cukup hny bs diucapkan oleh org yg bisa mensyukuri. Tak perlu takut berkata cukup. Mengucapkan kata cukup bukan berarti kita berhenti berusaha & berkarya. "Cukup" jgn diartikan sebagai kondisi stagnasi, mandek & berpuas diri. Mengucapkan kata cukup membuat kita melihat apa yg tlah kita trima, bukan apa yg blm kita dapatkan. Jgn biarkan kerakusan manusia membuat kita sulit berkata cukup. Belajarlah mencukupkan diri dgn apa yg ada pd diri kita hr ini, maka kita akan menjd manusia yg bahagia.
 
taken from a message from a friend (quoted)

Sebuah Refleksi tentang Pengampunan *

Suatu ketika seorang guru sekolah dasar menyuruh setiap muridnya membawa satu buah kantong plastik transparan dan kentang sebanyak jumlah orang yang dibenci. Anak-anak pun mengikuti perintah sang guru tadi. Ada yang membawa satu kentang, dua kentang hingga lima kentang.

Kemudian anak-anak itu diminta untuk menuliskan dengan spidol nama orang yang mereka benci pada kentang tersebut. “Sejak hari ini hingga tujuh hari ke depan, kalian harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut ke mana pun kalian pergi, termasuk jika kalian pergi ke toilet. Juga ketika tidur, kantong berisi kentang itu harus berada dekat kalian. Bisa?” kata sang guru. Serentak seluruh kelas menjawab, “Bisa, Bu Guru!”

Hari demi hari berlalu, kentang-kentang itu pun mulai membusuk. Bahkan ketika pelajaran sedang berlangsung, suasana menjadi tidak enak akibat bau busuk. Murid yang membawa lima kentang pun mengeluh, “Berat dan bau!”

Setelah satu minggu lewat, sang guru mempersilakan murid-murid untuk membuang kantong berisi kentang-kentang tersebut di tong sampah. Murid-murid sangat bersukacita dan lega. “Bagaimana rasanya membawa kentang selama satu minggu?” tanya sang guru. Beragam jawaban mulai muncul: berat, bau, tidak nyaman hingga mau muntah. “Seperti itulah hidup kita jika kita tidak mau mengampuni orang lain. Bisa kalian bayangkan jika seseorang membawa kebencian seumur hidupnya. Oleh sebab itu, lepaskanlah pengampunan. Orang yang tidak mau mengampuni ibarat orang yang memegang durian erat-erat. Semakin ia tidak mau melepaskannya, semakin ia merasa sakit,” lanjut sang guru.

Cerita di atas yang dikirimkan seorang teman kepada saya sungguh menggugah hati. Bukankah kita kerap melihat orang yang tidak bahagia dalam hidup ini karena tetap memilih untuk hidup dalam kebencian? Ya, mereka memilih untuk senantiasa “menggendong” batu yang amat berat ke mana pun mereka pergi sehingga langkah mereka menjadi tersendat-sendat. Jangankan untuk berlari, untuk melangkah tegak pun sudah tidak sanggup.

Tidak Mudah mengampuni

Mengampuni tentulah bukan perkara mudah. Bagi saya, mengampuni lebih merupakan urusan hati daripada logika. Dengan mengampuni, seseorang dapat hidup lebih tenang dan siap untuk menyosong masa depan yang lebih baik. Sebaliknya dengan tidak mengampuni, seseorang akan hidup dalam emosi kebencian dan menghalangi berkat-berkat Tuhan tercurah ke dalam hidupnya.

Ada beberapa hal penting yang saya pelajari berdasarkan pengalaman hidup tentang mengampuni.

Pertama, tidak seorang pun bisa kembali ke masa lalu. Bahkan saya kerap mengatakan, Tuhan pun tidak mau mengubah masa lalu seseorang. Masa lalu adalah tempat belajar. Bukan tempat tinggal! Masa lalu adalah bagian dari sejarah yang tidak bisa diulang. Terkadang jauh lebih sulit untuk mengampuni diri sendiri atas berbagai kesalahan masa lalu tapi kita tetap harus sadar, masa lalu telah berlalu. Petiklah hikmah dari semua peristiwa itu, minta ampun kepada Tuhan dan bertobatlah. Wujud dari tobat yang paling nyata adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan, banyak orang yang justru berani membagikan masa lalunya yang kelam kepada sesama sehingga bisa menginspirasi dan mengingatkan orang lain agar tidak melakukan hal yang sama.

Kedua, mengampuni adalah persoalan pilihan. Ya, kita bisa memilih untuk terus hidup dalam kebencian dan menjadikan kebencian itu pusat kehidupan kita. Sebaliknya kita bisa memilih untuk melepaskan masa lalu. Memang melupakan masa lalu hampir tidak mungkin tapi kita bisa menjadikan masa lalu tidak lagi memiliki ikatan emosional dengan diri kita. Joel Osteen dalam bukunya Your Best Life Now mengatakan dengan tegas, “Jika kita pahit hati dan penuh kebencian itu karena kita sedang mengijinkan diri kita untuk tetap demikian.” Saya kerap melihat banyak orang yang hidupnya tidak bahagia karena memilih untuk membiarkan rasa sakit dari masa lalu meracuni kehidupannya hari demi hari.

Ketiga, pengampunan adalah urusan rohani. Dibutuhkan kemauan yang kuat dan bukanlah kemampuan untuk sungguh dapat mengampuni. Ketika kemauan itu muncul, dekatkan diri kepada Tuhan selalu. Serahkanlah semua beban itu kepada-Nya dan mintalah kemampuan dari-Nya agar sungguh dapat mengampuni. Ingatlah bahwa kemampuan manusia selalu terbatas! Ini tidak bisa dilakukan hanya sekali-sekali tapi harus terus-menurus dengan kemauan yang kuat. Saya sendiri pernah melihat kasus seorang pemuda yang diterlantarkan ayah kandungnya bahkan ayah kandungnyalah yang membunuh ibu kandungnya. Ia perlu waktu puluhan tahun agar sungguh bisa mengampuni ayahnya itu.

Keempat, ubahlah kebiasaan lama. Seringkali seseorang sulit untuk mengampuni karena ia masih sering berpikir dan berbicara mengenai masa lalunya dengan penuh emosi kebencian. Hal ini seringkali terjadi ketika seseorang memandang dirinya semata-mata adalah sebagai korban. Hentikanlah kebiasaan in!. Ibarat akar sebuah pohon, semakin sering seseorang memikirkan dan membicarakan masa lalu, semakin dalamlah akar pohon tersebut dan akan semakin sulit untuk dicabut.

Kelima, waspadai munculnya gambaran masa lalu. Pikiran manusia ibarat saluran TV yang dapat kita pilih. Jika sesekali terlintas gambaran masa lalu yang kelam, segera ganti saluran Anda ke saluran Ilahi. Cara yang paling baik adalah dengan berdoa dan datanglah pada Tuhan. Jangan menganalisa atau melakukan pembenaran atas apa yang terjadi di masa silam. Katakan kepada Tuhan, “Tolonglah aku Tuhan untuk mengubah semua ini menjadi kebaikan sesuai dengan rencana-Mu!”

Perkenanlah saya menutup jumpa kita kali ini dengan sebuah nasihat bijak dari Mary Karen Read. When deep injury is done to us, we never recover until we forgive. Forgiveness does not change the past. But it does enlarge the future. Ketika kita mengalami luka yang begitu dalam, kita tidak akan pernah pulih sampai kita mengampuni. Pengampunan tidaklah mengubah masa lalu. Namun pengampunan akan menjadikan masa depan yang lebih baik.

Bagaimana menurut Anda? ***

* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Click www.pauluswinarto.com.

Sebuah Percakapan Hati

Aaargh..
Akui saja, bahwa senyuman itu terlihat hangat!
Akui saja, bahwa kenyataan itu benar adanya!
Tak ada yang ditutup-tutupi!
Akui saja bahwa semua yang kau lihat tak palsu!
Ah.. Tapi kau kan mau menorehkan gengsimu! Terlalu tinggi dan terlalu cepat jika kau mengakuinya sekarang!
Ya kan?

Ah, kalau aku sih beda.
Ku lihat dia sederhana, tak berbalut kemewahan. Ya ada kalanya ku merasa minder dan kalut. Kalau saja ku berada dalam kondisi yang sama.
Dia juga baik. Wah, kata - kata baik banyak artinya! Baik di mata, baik di hati, baik di budi... Ehmm, hati dan budi membuat kau juga baik di mata. Apa lagi ya?
Dia juga terlihat baik menyusun strategi! Ya ya, itu yang kubutuhkan!
Dia bisa menjadi pemimpin dan di saat yang sama bisa menjadi penasehat. Ah, ngomongin apa sih aku ini?

Itu tadi, macam kau yang tak mau mengakui, aku mau!

Ah, tapi kuragu, sahutku.
Banyak rupa yang lebih menarik dirimu. Banyak hal yang lebih indah yang dapat merajam sukmamu.

Ah, ku tak peduli akan hal itu. Terserah, sekarang semua itu ada di tanganmu! Kau mau yang mana?

Ya ya, saat dia menyanyikan lagu itu (dan mungkin dia tak sadar jika ku mengatakannya sekarang) di sebuah malam yang kurasa sangat istimewa, hatiku meleleh. Hanya pertanyaan ini yang muncul dalam hati, "Apalagi yang kau cari?"

Semua kriteria yang ku inginkan, memang terwujud dalam sebuah pribadi ini.

Sadarlah kau! Kau ini sedang mengigau atau apa? Percaya dirimu tinggi sekali! Belum tentu dong, dia juga melihat hal yang sama? Toh banyak hal yang lebih indah di luar sana.

Oh, begitu ya? Jadi bagaimana? Ku menunggu saja? Tapi hatiku mengatakan lain.

Hati siapa? Memang manusia lain mau peduli? Kau melakukan sesuatu yang baik itu takkan tampak! Yang tampak jika kau melakukan pemberontakan! Jika yang lain ke kiri, kau ke kanan!

Hmmmm, masa aku harus memberontak? Tidak, tidak.

Ah, kau hampir gila, kan? Kalau kau tak berani mengakuinya!

Aduh, itu lagi! Aku sudah mengatakannya padamu! Dia butuh waktu!

Kau memang gila! Sungguh gila! Rela menahan lapar selama 12 jam setiap harinya hanya untuk mengurusi hal ini!

Ah, kau ini memang berlebihan! (Kata orang zaman sekarang, kau ini lebay!) Tak apa lah, hanya 12 jam dari waktuku setiap harinya untuk bergumul. Apa salah?

Ah, ya ya, aku lupa! Kau kan terlalu keras berusaha untuk segala sesuatu!

Loh, kau ini bagaimana sih? Aku ini hanya tak mau mengulang kesalahan serupa. Berdamai dengan diri sendiri dan Sang Khalik. Apa salahnya?

Wah, wah...! Eh, kenapa kita bertengkar sendiri ya?

Ya, aku juga bingung! Eh, tapi dia itu bijaksana pula!

Bagaimana kau tahu? Atau kau jadi sok tahu sekarang? Atau jangan - jangan kau ditipu lagi?

Masa aku terus menerus ditipu? Habislah aku! Tidak tidak, hidupku tak begini! Biar saja lah, semua menipuku! Tapi hatiku tetap seputih salju.

Hahaha... Kau ini memang mempermalukan aku! Jika kau tak dianggap nantinya, jangan salahkan aku ya!

Oh, ya ya! Biar saja. Hanya saja sekarang ku tak mau bertindak berlebihan dan mencarut marutkan keadaan dengan perasaan ini. Tidak tidak! Biarkan semua berjalan apa adanya. Hingga waktu yang mewujudkan semuanya.
Sekarang ku hanya bisa berdoa dan berusaha.

Ah, kau ini! Padahal kau bukan orang yang seperti itu! Ku tahu, sulit bagimu untuk menyimpan segala sesuatunya. Kau sangat perhatian.

Ya, biarkan saja. Aku memang harus bersabar. Mungkin untuk mendapatkan yang terbaik harus begini.

Tapi, tak semua orang bisa melihat ini! Kau mungkin hanya buang waktu saja!

Ah, kau ini yang gila rupanya! Aku tak merasa membuang waktu! Ku masih melakukan banyak hal yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Aku tak merasa jika menyimpan segala sesuatunya dengan rapi sama saja membuang waktu! Biar, aku percaya, ketulusan hati kan tetap teruji dan tampak di akhir nanti.

Tapi bagaimana dengan gengsi?

Gengsi apa lagi? Mati kita jika hanya makan gengsi! Ku rasa semua sudah cukup! Apa lagi? Dia tahu apa yang harus dilakukan! Kupercaya! Entah mengapa, sedikit santai aku sekarang untuk menyikapi segala sesuatunya!
Dan satu lagi! DIA tidak akan membiarkan kami menunggu lagi!

Wah, wah! Sudah... Lebih baik kita akhiri percakapan ini. Supaya Sang Pribadi bisa mawas diri dan mengerti.

Ya ya, sahutku! Ku percaya, hal - hal baik akan datang pada Sang Pribadi! Karena kita selalu dipakai, untuk mendasari segala yang ia lakukan sehari - hari.

Selamat Malam! Terima kasih untuk hari yang indah ini!

Suara - suara Hati Sang Pribadi
 
 
Linggayani Soentoro
September 11, 2010

Sedikit Panjang Memang!

Ku termenung malam ini,
Ya, di sini lagi.
Ku berdiam memandangi jam dinding yang bergerak.
Bergeraknya pun maju. Tak mundur.

Saya tahu, kenyataan itu sudah tidak ada lagi.
Tidak bisa dibilang itu sebuah kenyataan.
Itu hanya bagian dari masa lalu.
Lalu, bagaimana dengan kenyataan masa kini?
Ya, itu yang sedang kujalani.

Ah, ku baru saja menghapus pesan - pesan di inbox Facebook ini.
Pesan - pesan lama yang sudah tak berarti.
Sekalipun untaian kata - katanya berarti,
tapi sudah tak ada gunanya lagi sekarang.

Haha, ku tertawa...
Ya ya, menertawakan diriku sendiri.
Betapa bodoh dan hinanya aku ini.
Mempercayai untaian kata - kata palsu itu.
Padahal aku sudah berjanji, untuk selalu memakai logika daripada dipermainkan oleh hati.

Ah, tapi dasar tak berpengalaman,
Itulah jadinya!
Bukan - bukan...
Itu bukan karena kau tak berpengalaman.
Itu karena kau terlalu ikhlas.
Terlalu total memberikan seluruh hati dan jiwa!
Wah wah..
Masa begitu?
Terus kalau nggak total gimana donk?
Setengah - setengah?
Atau mungkin memang kau sedang merugi,
bertemu orang yang seharusnya tak perlu kau temui dalam hidupmu!
Ah, apa pula itu!
Kata - katamu itu sungguh tak masuk akal!
Memang harus kita bertemu dengan orang - orang macam itu.
Supaya kita tahu dan mengerti pelajaran hidup.
Kata guruku, pelajaran itu tak selalu menjadi pelajaran favoritmu.
Tapi, kau membutuhkannya.
Ya, seperti yang kau katakan, mungkin aku tak menyukai pelajaran hidup kali ini
Tapi aku membutuhkannya dalam hidup.
Aha...! Aku tahu sekarang!
Benar! Tempaan itu membentuk kita menjadi lebih indah.
Tempaan itu pula yang menajamkan kita untuk berkarya lebih bagi orang - orang di sekitar kita.
Karya yang tentu saja berguna bagi mereka.

Ya... ya... Aku bergumam.
Mungkin benar, aku kan tetap hidup dengan hati.
Ku akan tetap mendengarkan "Pengertian Pertama" yang keluar dari relung ini.
Mengikhlaskan segalanya, menyerahkan apa yang bukan seharusnya menjadi milikku.
Memberikan kesempatan bagi segala sesuatu yang lain untuk masuk dalam hidupku.
Untuk dijadikan pelajaran berharga lagi di kemudian hari.

Aku tidak takut, jika ku harus merasakan sakitnya lagi.
Aku tidak gentar, menghadapi semuanya.
Kemarin pun bisa kulewati, kenapa hari ini tidak?
Apalagi besok..

Memang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari.
Namun, ku percaya
Ku masih memiliki iman yang sama, dan semakin kuat dari hari ke hari.
Ku masih memiliki sebuah hati yang pantas untuk dihargai.
Ku masih memiliki harapan yang didasari oleh kebaikan dan ketulusan.

Ya ya... Mungkin memang ku tak memiliki uang berlebih.
Ku tak memiliki otak yang terlalu cemerlang.
Tapi semua yang ada sekarang, kusyukuri.
Siapa tahu bisa memperindah keadaan esok hari.

Ya, hidupku hanya sekali.
Hampir saja kuhentikan hanya karena cinta yang basi.
Hahaha... tapi sudahlah, semua sudah berlalu.
Ku hanya bisa memaafkan segala yang telah terjadi, sekalipun melukai hati.

Aku kaya.
Kaya akan teman, yang selalu ada di sampingku.
Yang mendukung dan mendorongku untuk maju.
Yang selalu mendoakan satu sama lain.
Yang selalu peduli dengan keadaanku, di kala senang maupun sakit.

Aku juga kaya.
Kaya akan orang - orang baik di sekitarku.
Yang selalu menolong tanpa pamrih.
Menyayangiku tanpa batas.
Memberikan waktu dan kesempatan untuk melewati segalanya.

Aku masih kaya.
Kaya akan orang - orang di sekelilingku.
Yang selalu memberikan inspirasi dan kekuatan bagi jiwaku.
Yang selalu membagikan ilmunya tanpa khawatir.

Akupun tetap kaya.
Kaya akan berkat dari-Nya
Sekalipun aku pernah melupakanNya.
Haha... Apa kata-Mu, Kawan!
Melihat manusia yang tinggi hati seperti ini!
Olala... Saat ku membutuhkanmu, ku tersungkur dan mengiba - iba!
Saat kesenangan menghampiri, ku seolah lupa!

Maafkan saya!

Ya ya... ingin segera ku akhiri tulisan ini.
Ku ingin bergerak maju. Seperti halnya jam dinding itu.

Waktunya bergerak maju! It's TIME TO MOVE ON!


Ditulis bagi Sahabatku! Maaf ku pernah melupakan-Mu dan hampir meninggalkan-Mu!
Ditulis pula bagi teman - teman dan orang - orang di sekitarku, atas segala cinta dan doa mereka.
Ditulis pula bagi semua orang yang ingin bergerak MAJU!


Linggayani Soentoro
12 September 2010

Deepest Gratitude for MY SUPER MOM

Sejenak kulupakan Amerika,
Sejenak kulupakan proyeksi masa depanku...
Namun, hanya sejenak...
Sebentar aku kan memikirkannya lagi...

Namun, selamanya kan ku lupakan kepedihan itu...

Tidak akan lagi kujatuh pada kegalauan hati
dan ketidakpastian rasa...

Tidak akan lagi kumasuk pada perangkap bodoh
dan kesemuan realitas hidup...

Tidak akan lagi aku memberikan ruang
pada sebuah kekacauan...

TIdak akan lagi aku memberikan kesempatan
pada sebuah kerusuhan...

Tidak akan lagi aku menyempatkan diriku
terenggut oleh karena sebuah rasa...
yang tak pasti...

Hidup ternyata masih indah
dan ku bisa menjalani...
Kata Ibuku, tak perlulah kau khawatir
tak perlu lah kau merendahkan diri
dan tak perlu menarik diri dari semua ini...
Jalani kesemuanya itu dengan bijak dan rendah hati...
Hadapi semuanya itu dengan berani...

Ya, hanya itu...
Kata - kata Ibuku yang selalu bergema di hati!


Thank you, Mom!
I love you!
Thank you for your inspiration, strength and never-ending support!
I am proud to be your daughter
and I am proud to have a SUPER MOM
like you!
and I am proud to be taught and trained by an INSPIRING and INDEPENDENT WOMAN like you!

Bapak Tiri!

Ngakunya sih seperti "ksatria". Tapi kelakuannya bak pecundang.
Ngakunya sih bisa "bela diri". Tapi bicaranya tak mencerminkan itu smua.
Ngakunya sih berakhlak tinggi. Tapi kelakuannya seperti tak punya malu.
Ngakunya sih punya posisi. Tapi tak punya budi dan hati.

Ahh, apalah itu!
Saya sudah tak peduli.
Toh, kami berharap, Bapak juga tak ambil pusing.
Yang penting Bapak senang.
Lakukan smua yang Bapak mau,
Tak usahlah peduli mau rakyat melarat atau senang.
Yang penting Bapak bisa puaskan nafsumu!
Tak peduli kami meronta menginginkan kasih sayang.

Yang penting kan Bapak, semua terserah Bapak.
Kami tak berhak menentu... Akan nasib kami sendiri.

Ya ya, benar mungkin,
Kalau nggak mau kena tsunami ya jangan hidup di sana.
Ah, bisa nggak ya, kalau nggak mau hidup susah, jangan hidup sama Bapak!
Cari saja Bapak lain...
Kalau di cerita dongeng, Bapak Tiri biasanya jahat, di cerita ini, belum tentu kok.
Toh Bapak sendiri juga tak punya hati.
Jadi mending cari Bapak tiri!
Aku sudah muak akan smua ini!
Daaah, Bapak!
 
Linggayani Soentoro
November 5, 2010

Movember, Lovember, Shocking November

Haruskah saya tertawa? Atau ikut menangis?
Wah, posisi kita sekarang sama, kawan!
Kau tak menang!
Ku juga tak kalah!
Terima kasih sudah melihatku dengan iba saat itu!
Tapi selama matahari masih bersinar,
Dan nafasku masih menderu,
Semangatku takkan pudar!!!
Paling tidak itu semua menunjukkan bahwa ku terlalu sayang untuk dibuang!
Jika kau merasa terbuang, bangkitlah...
Cari sesuatu yang membuatmu beda!
Cari sesuatu alasan, mengapa kau hidup di dunia!
Cari mengapa kau harus dilahirkan!
Karena pasti tidak tanpa suatu alasan.
Dan sekarang, nikmati hidupmu selagi bisa senang...
Hahahaha.. Sudah layak dan sepantasnya, kau rasakan hal yang sama, persis seperti yang pernah kurasakan.
Kita lihat saja nanti...
Ku yakin, selama ini aku melakukannya dengan hati. Jadi, kau perlu berhati - hati...
Selamat, kawan!
Aku senang mendengarnya...!
Linggayani Soentoro
November 3, 2010

World Youth Day 2011

God made it possible for us to live with Him
Falling in love is the start of a journey



OBJECT OF CATECHESIS:
To foster recognition of the religious question as the summit of human experience as such. To be a man is to be identified with the question about the meaning of life, about the infinite. Every man responds in some way to this question. That is why all men are companions on the way.


SYNTHESIS:
1. "To think of the infinite": openness to the infinite is inscribed in man´s experience of life. Life and reality "open" permanently man´s horizon.
2. Life is this desire for the infinite (we call it the "religious question"): that is why the tradition of the Church speaks of man -of every man- as capax Dei.
3. The desire for the infinite, which constitutes man´s heart, starts him on the way. Religions and the unavoidable temptation of idolatry state clearly that to seek an answer to the religious questions is inevitable.
4. When mature, the desire for the infinite becomes a prayer to the infinite itself to manifest itself: we are unable to satisfy our thirst by ourselves, that is why we pray.
5. In this path of desire and prayer, the Christian is a companion of all men.

TEXT:

1. "To think of the infinite""
Have you never found in your life a woman who has bewitched you for a moment and then has disappeared? These women are like stars that pass swiftly in nights lulled by the summer. Did you once find in a health resort , in a station, in a store, in a tram, one of those women whose look is like a revelation, a sudden and powerful flowering that rises from the depth. of your soul (.) I have often felt these indefinable sadnesses´ When I was a boy; in the summer I often went to the capital of the province and sat for long hours in health resorts, near the sea. And then I saw, and have since seen, some mysterious, suggestive women that, like the blue sea that expanded before my eyes, made me think of the Infinite".

Azorin´s (Spanish writter) literary genius expresses very effectively an elemental experience that every man lives. There are circumstances that open wide the heart. They open it in the sense that they make present its true horizon, its "capacity for the infinite". There are circumstance that enable us to discover who we are, which break all the reduced images of our being men, that tell us that nothing suffices. They are circumstances or experiences that describe the real nature and stature of life, of our being men. They are circumstances that, above all, tell us "what we are lacking". and make present the intuition of the eternal for which we are made. One "thinks of the infinite" because the reality before one opens one wide, tells one that there is something more and that it must last forever.

Undoubtedly to love is one of these experiences. Every man lives the experience of love: in his family, with his friends, finding the woman with whom he will share his life, in virginity ... In the face of the woman we begin to love -falling in love is the start of a journey!- our desire of the infinite is concentrated, the intuition that we are made for the eternal. The sadness or anguish we can feel before the idea of losing the person we love, is also a sign of this openness to the infinite.

An openness that can be described as desire and nostalgia, and that is born from the truest experiences of our life: in love, but also in the perception of beauty, in the passion for our liberty, in rebellion in face of injustice, in the mystery of suffering and pain, in the humiliation of the evil one does, in the passionate search for truth, in the joy of goodness.

In the experience of his own life, man perceives the presence of the infinite. That same infinite that proclaims itself in the world. In the immensity and overwhelming beauty of creation: from the mountains and oceans to the DNA´s genetic chain! "Man and the world attest that they do not have in themselves either their first beginning or their ultimate end, but that they participate in Him who is Being itself, without beginning and without end".


2. Life is this desire
All men, regardless of age, race or culture experience this desire/intuition of the infinite which coincides with the most "evident" truth of life. We cannot deny it, we are this desire, our most authentic being is "to think of the infinite".

This desire coincides with life. It is not something that arises in the heart in spring or when one is particularly melancholic! It is simply and frankly "life".

That is why, to desire the infinite is to desire the fullness of life: not a dimension of life, but of life with all its letters. Because that desire is the principal theme that gives unity to each instant, to each situation, to each circumstance of our life. It is the chain that enables us to intuit the unity that exists between the love of parents and one´s desire to build, between anger before injustice and compassion before pain, between loving and being loved and the call to be fruitful. Without the unity that this desire engenders, which goes through every cell of one´s being, life would be a simple series of deeds and events, an accumulation of experiments, of hesitations, incapable of edifying one´s person.

In common parlance this search for the infinite is called the "religious question". When there is talk of religion there is talk in fact of this: of the search for the infinite on the part of all men.

Every man, by the mere fact of living, perceives this desire in himself, this religious question -- whether or not he is capable of expressing it -- because the religious question is the question about life and its meaning, That is why every man, regardless of the answer he gives to this question, is "religious". He cannot be otherwise, he cannot extricate from his heart the "thought of the infinite."
Christian tradition has described this reality speaking of man as "capax Dei": man, created in the image and likeness of God, is capable of God, desires Him and can find Him. "The Holy Church, our Mother, holds and teaches that God, beginning and end of all things, can be known with certainty, through the natural light of human reason, from created things" (Cc. Vatican I: The Psalmist expressed it with great beauty using the image of thirst: "O God, thou art my God, I seek thee, my soul thirsts for thee; my flesh faints for thee, as in a dry and weary land where no water is" (Psalm 62).


3. On the way
A question, an intuition opens a way. Man, who thinks of the infinite, starts moving. The intuition of the infinite is the driving force of life, the reason why man loves and works.

The passionate adventure begins for man to seek the infinite, to know its face. It is an adventure in which all of us are involved. It is not something reserved for particularly "religious" temperaments.

It is possible to recognize the way of man in the search for the face of the infinite in two events that are within everyone´s reach.
The first is the verification of the existence of religions. Today, more than in the past, we are witnesses of the plurality of religious experiences lived by men. When everything seemed to proclaim a society without God, movements and religious sects, of a very different nature, have invaded the West and are beginning to share the social scene next to the established religions. They are concrete, historical expressions of the search for the infinite and, in this connection, they help man´s reason and liberty not to close his horizon, not to reduce himself to the burdensome space of the "finite". Thus teaches Vatican Council II: "Men expect from the different religions the answer to the recondite enigmas of the human condition, which today as yesterday, profoundly move his heart. What is man, what is the meaning and end of his life, what is good and what is sin, what is the origin and the end of sorrow, the way to attain true happiness, what is death, judgment, the sanction after death? Finally, what is that ultimate and ineffable mystery that envelops our existence, from which we come and to which we are going?".

To live with persons of other religions is the occasion to recognize the identity of the desire and of the questions that constitute their heart and ours. What at first glance might seem a difficulty, as the multiplicity of answers could engender confusion, is also an privileged occasion to recognize the unity between all men. The answers proffered are many, it is true, but the question is only one.
In the second place we can recognize our search for the infinite in an experience that we have all had: the identification of the infinite with something concrete. It can be one´s girlfriend, or professional career, or economic success, or the passion for power. How many times have we identified the infinite that we had intuited with something particular? What has been the result? Disappointment. In our search for the infinite a moment has come when we have paused and have thought that we could identify it with something to our measure. </span>
It is called "idolatry" and it is a temptation that every man experiences personally. Instead of recognizing that the woman who has awakened in us the thought of the infinite, is a sign of the infinite, we expect from her that she will fulfill the desire awakened. When the sign is not recognized as such and it is confused with the fullness to which it refers, then it becomes an idol. But idols, we know from experience, let us down.

The Psalmist identified with great precision the tragedy of idolatry. It is the tragedy of an unfulfilled promise. It seems that they can respond, and yet they are incapable of everything: "Their idols are silver and gold, the work of men´s hands. They have mouths, but they do not speak;eyes, but do not see. They have ears, but do not hear; noses, but do not smell. They have hands, but do not feel; feet, but do not walk; and they do not make a sound in their throat. Those who make them are like them; so are all who trust in them" (Psalm 13).
"The work of men´s hands": with a few words the Psalmist identifies the root of the idols´ inability to respond to our desire for the infinite. An idol is the fruit of my hands; it has, so to speak, my own dimensions: it is finite. That is why it will never be able to respond adequately to the desire that constitutes my life.

The multiplicity of answers -the religions- to the only question and the inability of the idols when it comes to fulfilling the desire for the infinite, make manifest in a still more keen way the "need" for a definitive answer. A man who lives his life seriously, who does not censure the intuition of the infinite which describes who he is, cannot give up.


4. Comes to meet us
If to give up is to abandon the adventure of life, what should one do? How can man persevere in the way of desire? How can he not pause in insufficient answers? It is not possible to think that the image of our life is the myth of Sisyphus, always condemned to begin the task again without ever finding its fulfillment or rest.

Life is this desire and, yet, all our attempts to satisfy it seem vain -- our attempts, not the possibility of fulfillment.
In fact, our desire would be vain, absurd, if it was destined to remain eternally unsatisfied. But this does not means that we are the ones who satisfy it. We are "capable" of being satisfied, but not of satisfying ourselves.
The thirst that dries out man´s throat says that he is capable of drinking, not that man himself is the fresh and crystalline source that can satiate him. Thus, man is capable of the infinite, capax Dei, because he can receive Him if He comes out to meet him, not because he can construct by himself the infinite for which he longs.

When man recognizes himself capax Dei, his desire, his nostalgia, his longing are embraced by his liberty and become a prayer. And in this prayer man acquires his true stature. "Blessed are the poor in spirit, for theirs is the kingdom of heaven" (Matthew 5:3).
The poverty of spirit that Jesus blesses in the Beatitudes, and whose most eloquent expression is petition, prayer, constitutes the fullness of human experience. It is the moment in which man´s heart says to the Infinite he has intuited: "Come, manifest yourself! Every fiber of man´s being hopes and desires, asks and prays that the infinite will come to meet him. He wants to know his face, and prays: "´Thy face, Lord, do I seek.´ Hide not thy face from me" (Psalm 26).

And God has not left man´s prayer un-answered. "Through natural reason, man can know God with certainty from his works. But there is another order of knowledge that man can in no way attain by his own forces, that of divine Revelation (cf. Cc. Vatican I: DS 3015). By an entirely free decision, God reveals himself and gives himself to man. He does so by revealing his mystery, his benevolent plan that he established from eternity in Christ in favor of all men. He revels fully his plan by sending his beloved Son, our Lord Jesus Christ, and the Holy Spirit".

The prayers of the Psalms, the texts of the Eucharist, the season of Advent, the whole liturgy of the Church is a permanent education to live, in a conscious way and every day more willingly, this prayer of the Lord.
In the morning, at the beginning of the day, in the prayer of Lauds, the first words that the Church makes us recite are: "My God, come to my aid. Lord, make haste to help me". In this way she educates us and helps us to understand that the desire is called to become a prayer.


5. Companions on the way of all men
In this prayer all of us men see ourselves as companions on the way.
To recognize the desire for the infinite which constitutes the heart of every man allows us to realize the unity that exists between all of us.
The expressions of this desire can be very different. Some of them can even be hard, offensive and violent. And, even thus, they are expression of the same search that lives in our heart.

Whoever recognizes he is searching knows that he is close to every man: nothing and no one is a stranger to him. For the Church there are no "far off ones": because all men live, and question themselves and desire. All search. That is why the Christian is not afraid to speak about his search with everyone, including those who laugh at him, who label him a dreamer or a visionary.
An immense attraction to everything human accompanies him daily. Art, literature, music -everything that expresses man´s genius is, for the one searching, an occasion to recognize again the desire that constitutes him.
If one tries to speak about this with one´s classmates, one will realize that it is true.

http://en.madrid11.com/JMJ2011ING/REVISTA/articulos/GestionNoticias_263_ESP.asp