Monday, December 12, 2011

Makhluk di Zaman Purba

Ah, tolong seseorang, bisa memasukkanku ke dalam kotak kargo dengan lubang udara secukupnya? 

Di sini aku tak memiliki cukup oksigen untuk bernafas, berkata - kata dan mengemukakan pendapat. 

Bisa saja kuutarakan ide - ide gilaku dengan gamblang dan blak - blakan. 
Tetapi makhluk - makhluk di sini nampaknya tak memperdulikannya. 
Merasa bahwa aku ini terlalu keras menjalani hidup, terlalu keras belajar dan bekerja dan terlalu keras pada diri sendiri. 

Aku ingin mengadakan poling (seperti poling SMS 7 Keajaiban Dunia Pulau Komodo) apakah di belahan bumi yang lain, didiami dengan karakter makhluk yang sama? Apakah ukuran otak mereka lebih kecil? 
Atau mental mereka yang mengimbangi kerasnya zaman? 

Mungkin aku sedang hidup di zaman pra-sejarah. Atau sedang menghadapi makhluk - makhluk purba, tak ada komputer, tak ada tablet PC. Tak ada pula listrik, 
Apa lagi Blackberry yang sering kacau sana sini. 

Aku mungkin sedang menaiki mesin waktu, ke masa lalu. Atau mungkin aku membutuhkan mesin waktu untuk melihat masa depan. 
Punahkah mereka? 
Lalu siapa yang akan bertahan? 
Semua yang mampu membaca perubahan zaman? 
Ataukah juga semua yang kritis terhadap lingkungannya? 
Atau makhluk - makhluk yang memiliki kesadaran diri, self-awareness istilah kerennya. 

Ah, katanya, kata - kataku ini terlalu dalam. 
Secara implisit tentu saja. 
Dalam? Ataukah engkau yang terlalu dangkal? 

Makhluk - makhluk itu berkata lagi, "DIA GILA," menyebutku demikian, 
Apakah demikian? 
Apakah normal itu? (Seperti kata makhluk yang sama gilanya dengan aku) 
Mengapa kamu merasa tidak normal? 

Bahkan di twitter hari ini pun, ku temukan, 
Dari seseorang yang berada di belahan bumi lain: WHY ARE YOU TRYING SO HARD TO FIT IN IF YOU WERE BORN TO STAND OUT? 

Mungkin ada kesalahan proses reinkarnasiku! 

~tolong Tuhan, ku ingin hidup di belahan bumi lain, bersama dengan makhluk - makhluk yang memiliki kesehatan mental, kedalaman otak dan keinginan untuk maju!~ 

Aku lelah...

Semoga tak benar - benar tenggelam di Samudra Pasifik

Sudah ditulisnya dengan rapi segala sesuatu yang perlu dia utarakan. 

Hanya saja menunggu waktu yang tepat untuk mengirimkannya. 

Mungkin di hari ia mengirimkannya, harapannya adalah kirimannya itu akan tenggelam di Samudera Pasifik atau mungkin terinjak - injak unta di tengah Gurun Sahara, atau mungkin terbang bersama burung - burung yang sedang bermigrasi ke selatan. 

Ah, kalau saja mereka tidak memiliki perbedaan ruang dan waktu. 

Pernah dia mencoba untuk menghapus segalanya dari benaknya, namun ia tak kuasa. 
Percakapan mereka pun cukup dalam. Mereka memiliki selera humor yang sama. Selera makanpun juga sama, sama besarnya dengan tubuh - tubuh mereka. 

Tak tahulah bagaimana nasibnya nanti, 
Toh semua sudah dilakukan dengan segenap daya upaya. 
Tinggal menunggu saja, alam semesta bekerja. Entah bagaimana... 
Dia hanya perlu percaya... 

Tuesday, August 16, 2011

Hari Ini

Sudah lama sekali rasanya,
Aku tak pernah duduk di pojokan sebuah kafe, tanpa terbeban apapun!
Sudah lama sekali rasanya,
Aku bisa menikmati 'me-time', tanpa ada urusan dan pekerjaan yang sedang menunggu.
Asyik sekali rasanya, mendengarkan musik jazz dan klasik, lalu menulis (mengetik lebih tepatnya).

Ya, hari ini...
Ku duduk di sebuah pojokan kafe, dengan sebuah donat cokelat dan es cappucino.
Biasa memang, tidak ada yang spesial.
Akupun sebenarnya juga tak begitu menyukai donat atau cake, dan segala roti manis.
Tapi aku mau sesuatu yang beda hari ini.

Baru saja aku membeli beberapa buku di toko buku di atas kafe ini.

Beberapa untuk tugas kuliah dan beberapa lainnya untuk menambah koleksi perpustakaan pribadi.

Ku membeli buku - buku itu, teringat aku dengan peristiwa kemarin.

Flashback peristiwa kemarin,
Ya, bukan hari ini, tapi kemarin....!

Ibu (ku sebut beliau Ibu saja lah, tak perlu kubeberkan pangkat dan title-nya, apa lagi namanya) mengatakan padaku, "Kamu itu persis seperti saya! Makanya aku tresno (suka,cinta-Javanese) sama kamu, Non. Iya ya iya, enggak ya enggak. To the point gitu loh, jadi nggak buang waktu, saya suka itu!"

Akhirnya ku menemukan (lagi) kemiripan dengan seseorang. Tak heran, cocok!
Aku bisa menerima perspektif beliau dengan baik, memaparkannya dan mengerti maksudnya.
Walaupun sedikit kurang 'well-organized', tapi aku mengerti (aku juga bukan pengikut hukum 'normatif dan linear', yang kaku dan tak bisa dibantah, terlalu formal dan terstruktur! Aku benci pola, kurang fleksibel menurutku).
Ya, kata beliau, "Pendidikan kita itu terlalu normatif, kadang teoritis, jadi kadang kehilangan esensinya."
"Teori sih boleh, tapi kalau nggak diimplementasikan, bohong besar lah!"
Begitu kira - kira.
Aku mengangguk - angguk setuju.

"Habis ini kamu ambil S3 aja! Toh yang kamu paparkan barusan itu bisa dijadikan disertasi, terlalu dalam itu untuk sebuah thesis S2."
"Disederhanakan saja lah, ini kupinjami buku - buku saya, siapa tahu bisa."

Ada 14 buku tebal yang aku bawa pulang.
Dan aku pun masih harus membeli buku - buku lain.
Ah, apa ada ya, yang suka dengan kehidupan yang penuh dengan buku seperti ini? Atau jangan - jangan cuma aku? (Sebenarnya, akupun tak begitu suka, haha,... Tapi aku cukup menikmatinya!)

Ah, kata - kata beliau di atas belum menohokku.
Saat ku katakan bahwa aku tak mau ambil S3, karena 'takut' kehilangan image dan perspektif orang - orang mengenai 'pendidikan yang ketinggian', dan nggak merit - merit, Ibu pun mengatakan, "Ah, for me, when you get married, that's the end of your life!" (Nah, ini yang membuat saya tersentak! Ternyata ada perspektif seperti ini, yang sudah eksis di generasi sebelum aku lahir)
Lalu saya berteriak kecil dengan reflek, "What? Kok bisa?" (Padahal aku pun sebenarnya mengiyakan hal itu)
"Iya lah, saya aja merit umur 27, dan saya tidak menyesal, karena saya puas dengan masa muda saya!"
"Hello Ma'am, I'm 27 this year! And if I should take Phd, I will spend another 2 years!"
"Ya tapi melihat potensi, saya rasa sih kamu bisa ya? Masa nggak kepengen sih?"
"Nggak bu, saya sama sekali nggak pengen,"
Saya nggak mau jadi gila, kebanyakan teori dan penelitian, buku - buku yang harus saya lahap, oooh, aku tiba - tiba membayangkan hidupku yang tampak cukup 'miserable'. Saya pengen tetap humanis, gila dikit, lucu dikit, 'pervie' dikit, autis dikit, have fun dikit, dan dikit dikit yang lain.
Takut aku, kalau semakin 'dikit' yang bisa mengerti jalan pikiranku, dan semakin 'dikit' orang yang menganggapku waras dan asyik.
Dan takut kalau rambut di kepalaku ini semakin 'dikit' pula...

Aku masih ingin merasakan kehidupan normal, menjadi seorang istri dan ibu, mengasuh anak - anakku, mengurus rumah tangga. Pikirku di hari - hari kemarin, jika memang aku harus meninggalkan bisnisku, dan meneruskan karierku sebagai pendidik untuk anak - anakku sendiri, aku rela! Akan kubuang mimpi memiliki sebuah sekolah itu jauh - jauh.

Tapi itu tak kuungkapkan pada Ibu.
Aku tahu, kami berdua sama - sama idealis. Kalau kuungkapkan, pastilah akan menjadi wacana yang panjang!

Di akhir pembicaraan kami,
Beliau mengatakan, "Tapi sekarang saya ini sedang menapaki kehidupan yang nyata, saya itu juga seperti kamu, terlalu positive thinking, cuek sama gosip, terlalu baik kata orang. Padahal, kehidupan itu nggak seperti itu, Lingga!
Banyak orang yang kita baik sama mereka aja, mereka masih bisa jahatin kita. Kata suamiku, saya terlalu pemaaf, nrimo dijahatin orang. Ternyata, saya masih dihadapkan dengan hal seperti ini. Sekarang saya jadi lebih realistis."

Ya, dalam hatiku, ku katakan bahwa aku tidak lagi sama dengan beliau, karena aku mau mengubah fase hidupku.
Ya, kuubah itu. Seperti saat kubuang jauh - jauh mimpiku sekolah di Amerika!

Banyak hal yang kita diskusikan kemarin, walaupun di jalan pulang aku kehujanan.

Dan tiba - tiba semua itu aku pikirkan hari ini, ya, hari ini, di pojokan sebuah kafe.

Jika kemarin ku sempat berpikir, kita sama,
Hari ini aku berkata lain, kita beda, Ibu!

Ya, hari ini ya hari ini,
Kemarin ya kemarin.
Tak ada yang sama!
Semuanya beda :)

Tapi tetap, aku tetap sejalan denganmu, Ibu.

Ginjal

Nephrotic Syndrome, awalnya istilah itu asing di telingaku.

Dan saat aku mendengarnya, hatiku berdebar kencang. Pikirku, penyakit apa itu?
Wah, tak pernah sekalipun sakit (paling parah sakit radang tenggorokan), sekalinya sakit, dapat penyakit yang namanya keren (berbeda dengan 'batuk pilek', 'masuk angin', 'cacar' dan 'sakit hati')

Dokter pun mengatakan, "Wah, 1 stage lagi, kamu gagal ginjal nih?"
"Apa dok??" Tanyaku tak percaya.
Pikirku, aku tak merasakan apapun, hanya saja urinku berbusa dan hasil laboratorium mengatakan, ada kandungan protein di urinku.
Memang sih, tubuhku lemas, gampang terengah - engah, dan cepat sekali merasa capek.
Tapi pura - pura saja kututupi semua itu. Aku berusaha menahannya.

Masih sempat aku berdebat, tak mungkin, aku tak pernah macam - macam.
Yang kupikirkan saat itu hanyalah pembuktian bahwa kertas - kertas itu salah dan hasil pemeriksaan dokter juga salah (untung, aku tak mau jadi dokter, pernah ku dipaksa papa untuk masuk kelas IPA, supaya melanjutkan sekolah kedokteran beliau yang terhenti karena masalah ekonomi - bisa diragukan pula kredibilitasku menjadi seorang dokter, oleh seorang pasien gila seperti aku)

Haha...
Lalu seminggu di rumah, tak menghasilkan kemajuan berarti. Protein di tubuhku menurun dan siklus bulananpun datang tak tahu diri. Droplah kesehatanku.

Teman - temanku pun mulai berdatangan, murid - murid dan orang tua mereka pun melihat kondisiku.
Mereka heran, katanya, "Superman kok sakit?"

Ada pula yang berkata, "Miss, jangan mati duluan, belum merit toh?"
Hahahahaa, dalam sakit aku masih tertawa.
Ku balas saja, "Nggak lah, makanya, kalo ke sini jangan bawa bunga, lagian Miss Lingga blom mau mati, masa ntar di batu nisan tertulis, born virgin, live virgin and die virgin, kayak Mother Mary aja."

Tanpa merasa sakit sedikitpun, (hanya lemas, swear!) Aku dirujuk ke Rumah Sakit.
Ada orang tua sahabatku yang menganjurkan itu.

Ah, gila, aku tak pernah rawat inap. Tak mau aku.
Sedikit phobia dengan rumah sakit.
Bagiku, tak kan pernah sehat aku, jika tinggal di rumah 'sakit'. Ada nggak ya, rumah sehat? (Aliran positive thinker)

Akhirnya, nasibku memang buruk saat itu. Dibawanya aku ke rumah sakit terdekat, supaya mama mudah mengunjungi aku.

Diberinya aku injeksi dan obat - obatan. 3 hari pertama, hidupku cukup 'miserable'.
Hari ke 4 aku mengalami sesak nafas yang tak tertahankan.
Ku pencet bel untuk memanggil perawat.
Disiapkannya tabung oksigen, masker oksigen dan selang - selang plastik (pikirku, "Wah, seperti di film - film melodrama)
2 menit setelah dipasangnya oksigen di hidungku, aku tetap merasa sesak. Kulepaskan selang - selang sialan itu.
Kupencet bel memanggil perawat. Ku katakan padanya dengan susah payah, aku sudah tidak bisa bernafas, perutku membesar, rasanya penuh dengan air.
Kutanya, kapan dokter datang, dia menjawab, nanti jam 4.
Wah, aku keburu mati. 4 jam lagi!
"Telponkan dokter sekarang!" Teriakku panik.
Lalu 20 menit kemudian, kembalilah dia dengan membawa suntikan injeksi. Tak tahu cairan apa yang dimasukkan dalam tubuhku. Aku menurut saja.
Dokter pun datang, keluargaku pun beraksi (keluarga di sini adalah mama, om dan tanteku, serta sahabat - sahabatku, papa harus tinggal di rumah, kasihan, susah payah jadinya jika harus ke rumah sakit dengan kursi roda)

Ah, gila saja, batinku!
Diberinya aku 5 macam obat dan 2 injeksi!
Sudah mulai membaik, ku ambil Blackberry-ku, lalu ku 'google' nama - nama obat itu.
3 untuk maag, 2 untuk ginjal, dan 2 injeksi untuk maag dan mengeluarkan cairan yang membuat tubuhku membengkak.
Ku coba baca, sebenarnya apa penyakit ini. Bukan, bukan penyakit, masih syndrome, kumpulan gejala.
Gejala gila!
1 minggu tiap malam, teman baikku menjagaku di rumah sakit. Ah, tak punya saudara, tapi ku punya sahabat - sahabat yang mencintai aku.
Sang sahabat yang berprofesi sebagai nutritionist di negeri sebrang pun beraksi, mengirimiku the do's and the ∂σи'т's masalah nutrisi.

Dan selama seminggu itu pula, asupan gizi yang kuterima dari rumah sakitpun, salah total, pantas saja dengan cepat berat badanku menurun.
Diberinya aku makanan untuk orang berpenyakit ginjal beneran (karena penyakitku ini masih tergolong pura - pura)

Gila!
Botol - botol albuminpun sudah kuhabiskan. 7 tepatnya. (Ditambah 2 yang kudapat di rumah)
Mahal! Tapi jadi tak mahal karna ku butuh!

Asupan albumin dan sari ikan tak mengembalikan tingkat protein dalam tubuhku.

Jujur saja, memang aku tak pernah jadi dokter, (dan tak akan pernah mau)
Tapi karena aku sok tahu, ku katakan saja,
Ginjal bocor kok tidak diobati dulu, baru diberi albumin.

Gila, asuransi kesehatanpun aku tak punya, dan mereka memberikan tablet dan kapsul gila dengan harga selangit, plus cairan infus untuk menambah protein dalam tubuhku!!
Bisa jalan - jalan ke luar negeri aku dengan duit itu!

Ah, tidak.. Aku tak menghitung banyaknya uang yang sudah dikeluarkan.
Hanya saja ku mempertimbangkan banyaknya substansi - substansi tak jelas yang masuk ke dalam tubuhku.

Dasar gila pikirku, hingga hari terakhir, aku harus pulang paksa.
Tak ada kemajuan berarti.

Pergilah aku ke negeri tetangga, sama seperti pejabat - pejabat gila yang melarikan diri dengan alasan medical check-up. (Harusnya mereka perlu mendapat mental check-up juga!! Sehingga tak merampok uang negara. Memang mereka gila!)

Maaf, aku jadi mengata-ngatai mereka..

Ya, dan dokterpun berkata,
Well, we'll not play w/ your money. Trust me, we do follow the procedures.

Ya, tapi hanya segini uangku, tak mau aku biopsy atau apa lah itu.
Cek lab saja, plus konsultasi.
Belum lagi obat.
Mulai deg - deg an jantungku.

Pemeriksaan pun dilakukan menyeluruh. Pertanyaanpun sangat mendetail.
Lab check pun menyita banyak darahku.
Tes ini dan itu.
Sangat profesional!

Setelah beberapa jam aku menunggu sambil makan siang di cafetaria, aku menemui dokter itu. Diberinya aku penjelasan menyeluruh dalam bahasa Inggris, lisan dan tertulis!
Katanya, nephrotic syndrome ku masih di early stage!!
Dan dengan kondisiku yang seperti ini, cepat pulih!
Ah, sangat encouraging.
Dan ku tanyakan, banyak pertanyaan.
Lalu kudengar pernyataan, "well, the treatment you got was not really necessary."
Dalam hati aku mengumpat, "shit!"

Tapi kuhibur diriku sendiri..
Tak apa lah, meditasi di rumah sakit dan mengasingkan diri sejenak dari rutinitas memberiku ruang gerak. Paling tidak aku belajar banyak.
Belajar akan hidup, pengalaman dengan pasien sekamar, pengalaman dan ketakutan saat menghadapi semuanya sendirian, memaksakan diri untuk berani melawan sakit ini...

Dan inilah sekali lagi ungkapan dari dalam hati saya yang paling dalam bagi kalian yang telah membantu, mendoakan, mengunjungi, menemani, memberikan semangat, membuat segalanya lebih baik... Air mata dan senyum kalian tetap akan saya kenang...

Terima kasih Papa, Mama, Om, Tante, sepupu, Nuarita, Carmelita and fam, Chika Hermosa and fam, Marthani, Herry Yudhianto,Armand, sahabat - sahabat lain yang tak dapat sy sebutkan satu per satu,
Grace Christy Bella (thanks for your companion in SG),
Oreo and Quaker Team,
Teman - teman, dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Sastra UNIKA, guru - guru dan murid - murid Tri Tunggal, alumni Sedes, para murid dan orang tua EduHouse, teman - teman UNNES A2, kerabat dekat yang tak dapat saya sebutkan satu per satu, NHG, NUH, teman - teman perawat RS Telogorjo SMG, team pendoa GKJ, Isa Almasih, St. Familia Atmodirono, Randusari, dan gereja - gereja lain yang tak dapat sy ingat namanya :),
Kairos Gracia teachers (thanks for ur prayers),
EduHouse teachers,
dr Sonya, dr Jimmy Teo & Alice, dr Lestariningsih.

TERIMA KASIH

Ing Ereng - Erenging Redi Merapi (di Lereng Gunung Merapi)

"Badhe Pinarak, Mbak!"
Kalimat pendek nan ramah yang selalu ku dengar saat ku berpapasan dengan penduduk lereng Merapi.
Ngargo Mulyo nama desa itu.
Ingin ku ke sana lagi!

Awalnya aku merasa sedikit ragu, bisakah aku tinggal dengan mereka?
Bagaimana jika aku harus mandi di sungai?
Ah, tak terbayangkan!
Tapi kubiarkan saja pikiran itu melayang - layang di kepalaku.

Dari kampusku, pagi itu aku menyetir mobil Ibu Ninik, bersama dengan beberapa mahasiswa dan dosen di dalamnya.
Mahasiswa lain berangkat dengan bus.
Aku lebih memilih menyetir daripada duduk di belakang, tak nyaman bagiku.

Sekitar 3.5 jam kami sampai di daerah Vanlith, sebuah sekolah yang menurutku 'wow', boarding school dengan nilai - nilai katolik.

Lalu setelah menunggu beberapa saat,kami melanjutkan perjalanan ke atas.
Kami disambut o/ Rm Mulyono dan Rm Luhur di Kapel St Yusuf, Juwana.
Sederhana, dengan kursi - kursi panjang seadanya. Tak ada piano atau keyboard, tapi aku melihat satu set gamelan!
Ah, menyenangkan rasanya.
Panas dan debu tak membuat kami antipati.
Aku dan beberapa teman serta mahasiswa ditempatkan di daerah Ngargomulyo, 7 km dari puncak Merapi!
Pasti menyenangkan sekali, pikirku!

Kulanjutkan menyetir ke atas. Stelah pembagian tempat tinggal, kamipun pulang dan beristirahat.
Rumah yang kutempati cukup nyaman.
Ya, kubilang cukup nyaman, sebuah keluarga katolik yang sederhana dengan 2 orang putera.
Pemikiran mereka pun sederhana.
Kami beristirahat di lantai atas. Hanya tempat itu yang berkeramik, lantai dasar tak bertegel.
Pada awalnya, aku mengernyitkan dahi. Toiletnyapun sederhana.
(Untung aku tak harus mandi di kali!)

Jam 3 sore kami berangkat ke Kapel wilayah itu. Kapel St. Paulus, Tangkil.
Sederhana, tak jauh berbeda dengan kapel pertama kami singgah.
Anak - anak warga sekitarpun mulai berdatangan.
Kamipun mulai mengajar.
Sekitar 30 an anak berkumpul di situ. Mereka membawa buku dan alat tulis mereka.
Ada yang berjalan kaki, ada yang naik sepeda, dan ada pula yang ikut mobil kami.

Kamipun memulai kelas, dibagi - baginya mereka dalam grup - grup kecil.
Kami bernyanyi dan mengadakan permainan.
Senang rasanya, walaupun Bahasa Jawa kami terbatas dan Bahasa Indonesia mereka juga terbatas.
Yang penting komunikasi kami tetap lancar.
Mereka antusias, lebih antusias daripada murid - murid kami di kota!
Ah, bukankah seharusnya mereka capek, harus berjalan kaki dan masih belajar dengan kami.
Tapi tak ada yang mengeluh!

Mereka merasa happy membaca buku yang kami berikan untuk mereka.

Mereka merasa nyaman bermain games bersama kami.

Mereka merasa excited, bernyanyi bersama kami.

Malam hari, para tetuapun tak kalah semangat!
Mereka juga memiliki antusiasme yang cukup tinggi, sama seperti anak - anak mereka.

Pukul 10 kami baru selesai mengajar.
Beberapa dari kami melanjutkan ikut ronda malam.
Dinginnya angin malam tak mengurungkan niat kami untuk mengitari wilayah itu.
Aku melihat beberapa logo USAID di beberapa tempat tinggal warga.

Terpikir olehku untuk mengikuti program - program sosial atau menjadi sukarelawan seperti ini. Namun, buru - buru kuhapus dari otakku.

Pagi harinya, kami memulai kelas untuk anak - anak lagi. Ada beberapa anak baru.
Ah rupanya mereka juga tertarik untuk ikut kelas kami.
Kami pergi ke arah sungai untuk melakukan kelas alam.
Berjalanlah kami dan anak - anak itu melalui sebuah jembatan dan menyusuri pinggir sungai.
Mahasiswa - mahasiswa kami pun sangat antusias. Anak - anak diperkenalkan kosakata baru tentang benda - benda yang mereka jumpai.
Frase - frase singkatpun kami ajarkan.
Beberapa mahasiswa yang cukup diam di kelasku, beraksi cukup mengagetkan!
Mereka mengajar dengan bersemangat! Alive!

Aku bangga!

Lalu, aku menemui salah seorang host parent untuk membeli cabe, untuk oleh - oleh teman - teman fakultas.
Suami istri itu menyambut kami,
(Saya dan ibu Ninik)
Mereka mengatakan, jika cabe - cabe itu tak perlu dibayar.
Kami memaksa untuk tetap membayar.
Lalu perkataan ibu itu membuatku terhenyak, "Mboten napa - napa, Bu, Gusti mpun maringi berkah gratis, mboten usah mbayar..." (Tidak apa - apa Bu, Tuhan sudah memberikan berkat secara gratis, tidak usah membayar)
Jadi harus dibagi - bagikan...
Air mataku meleleh.
Terharu aku mendengarnya.
Sang Bapak juga menimpali bahwa jika kita punya berkat, harus dibagikan pada sesama, supaya bisa dilipatgandakan. (Lupa bahasa Jawa yang ia katakan, hehe tapi itu intinya..)
Sama seperti ayat yang baru kuterima pagi itu melalui SMS: kamu telah memperolehnya dengan cuma - cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma - cuma (Mat 10 : 7 - 15)
Oh Tuhan, betapa baiknya mereka.
Tulus dan tidak meminta balasan.

Kamipun kembali ke sungai. Di jalan pulang, kami berpapasan dengan beberapa orang. Mereka menyuruh kami untuk mampir.
Gila, pikirku! Mereka tidak tahu siapa kami.
Di kota kehidupan tak seperti ini. Semakin jauh dan tak pernah menyentuh hidup orang lain, itu lebih baik!
Tapi di tempat itu beda.
Mereka juga tak peduli dengan ras dan agama.
Begitu polosnya!
Oh, hidup mereka pun cukup sederhana.
Yang satu panen lombok, yang lain menikmati. Bertukar hasil panen juga. Kadang tak perlu membeli di pasar.
Masih adakah hal itu di kota?
Tak mendapat untung tidak apa - apa!
Ah, prinsip ekonomi macam apa itu?

Hidup berdampingan, natalpun mereka rayakan dengan meriah.
Kata host parents kami
Satu wilayah merayakan natal satu hari berurut-urutan. Ada 7 wilayah. Jadi tanggal 25 mereka ke wilayah 1 dan seterusnya. Dan hari selanjutnya, wilayah yang lain menjadi tuan rumah. Sedang penduduk dari wilayah lain bertandang ke wilayah tuan rumah. Ah, menyenangkan sekali!
Non-katolik pun menyediakan makanan kecil dan minuman.
Hidup mereka gila, pikirku.

Mereka sederhana, mereka hidup bertani dan menambang pasir.
Tak memakai baju bagus, hanya membawa cangkul, bukan laptop atau tas kulit mahal.
Tapi mereka tetap hidup.
Penghargaan mereka juga tinggi terhadap manusia yang lain.
Kasih mereka akan sesama juga besar!
Keinginan mereka untuk maju juga ada...
Mereka mau belajar bahasa Inggris dengan kami.
Mereka mau berkomunikasi dengan orang - orang bule yang datang memberikan bantuan.
Mereka ingin berterima kasih.
Mereka ingin menyambut mereka.
Mereka tak ingin terlihat cuek.
Mereka tak ingin diam seribu bahasa saat orang - orang asing itu datang.
Mereka ingin mengekspresikan isi hati mereka.
Oleh karena itu, mereka mau belajar.

Mereka juga tak canggung jika mereka salah mengucapkan kata.
Kukatakan ini sebagai proses belajar.
Dan kami, kami belajar banyak.
Merekapun juga tetap hidup tanpa barang - barang branded.
Merekapun tetap tahu bagaimana menghargai dan mengasihi.
Merekapun tetap jujur, tetap baik, tetap murah hati.

Sekolah mereka juga bukan sekolah mewah, berharga ratusan dollar atau ratusan ribu rupiah.

Tapi akhlak dan karakter mereka berbicara.

Ingin rasanya aku tinggal lebih lama lagi di sana.

Tak apa jika sedikit kotor,
Tak apa jika sedikit sempit,
Tak apa jika sedikit menyusahkan.

Tapi hatiku damai.

Ya, di lereng Merapi itu, aku belajar banyak!!
Dan semakin aku ingin membagikan ilmuku untuk mereka dengan cuma - cuma...
Kukatakan pada teman - temanku, aku mau seperti ini lagi. Tak perlu dibayar, tak apa.
Kepuasan hati saat melihat mereka bisa mengatakan, "Good morning" dengan tersenyum itu sudah cukup.
Semakin ingin aku mengabdikan diriku untuk menjadi seorang guru!
Batinku puas, hatiku senang.

Sampai jumpa di Lereng Merapi di lain hari!

-thanks †o Faculty of Letters, UNIKA for giving me an incredible chance †o learn a lot of life lessons!-

Wednesday, June 29, 2011

Que Sera Sera

paling tidak, ku sudah lakukan yang terbaik.
Paling tidak, ku sudah meyakinkan dan memberanikan diriku.
Dan paling tidak, ku sudah mengambil kesempatan yang ada.
Serta, paling tidak, ku boleh menyerahkannya pada-Mu.

Biarlah yang menjadi kehendak-Mu yang terjadi.
Que Sera Sera
Thank you, Lord!

Friday, June 10, 2011

What is sex, Miss?

Pernah ada yang menanyakan padaku, What is sex, Miss?
It depends, jawabku.
Karena yang bertanya adalah muridku kelas 4 SD, ku jawab saja,
Sex can be divided into two, male and female. And which one are you?
Lalu dia pun menimpali,
No Miss, I think it's not that one.
When a man and woman..... Lalu ia menghentikan kalimatnya.

What? Continue your sentence, please?
Dan dia pun melarikan diri dari hadapanku.

Pada lain hari, pagi - pagi sekali,
Aku menghampirinya.
Aku tanyai dia sekali lagi, apa definisi sex itu.

Lalu dia menjawab, sambil celingukan, was was jika ada yang mendengarnya.
I ever saw it in the DVD, Miss. My parents have it.

So, how do you know if it is sex?

Emmmph, I think I asked my friends and my brother. They said like that.

So, what do you feel when you watched it? Do you still watch it?

I feel nervous, Miss.

Well, what do you think of it? Is it appropriate for you †o watch that?

I think no, Miss. But I just want †o know. Is that okay, Miss? 

Well, that's completely okay. It's related †o Science, anyway. I'm happy you wanna share it with me. You'll get sex education next year anyway. And you will learn about human reproduction in science class. You will know about sex more. 

Yah, untungnya saat itu adalah penghujung tahun, saat kenaikan kelas.

Aku ingin sekali memberinya pengertian.
Tentang ini dan itu. 
Supaya dia lebih mengerti dan memahami esensinya.

Tapi mengapa anak itu tak mau menanyakannya pada orang tuanya.
Dan dengan tidak bertanggung jawab, meletakkan DVD itu sembarangan...
Membuat sang anak penasaran!


Tak ada hal yang tabu, jika memang itu demi pengetahuan.

Mereka juga manusia, ingin berkembang dan maju.

Jadi tolonglah, buat semua itu jadi lebih humanis.



Wednesday, June 8, 2011

Aku Lelah, Tuhan!

Tuhan,
Hari ini aku merasa lelah.

Hari ini aku merasa kurang bersemangat.
Ingin kuceritakan segalanya pada seseorang,
tapi rasanya, akupun terlalu lelah untuk bercerita.
Ingin kubagikan kisah - kisahku pada seseorang,
namun, lagi - lagi tak ada waktu untuk melakukannya.

Namun sebelum aku meracau lebih panjang lagi,
aku melihat kegelisahan hati dan penderitaan orang lain
yang mungkin lebih berat dari pada hanya sekedar rasa lelah dan sakit.
Maafkan saya Tuhan,
mereka sedang merasakan kehilangan yang begitu mendalam.
Mereka bahkan sedang merasakan beratnya himpitan hidup.

Ingin rasanya kabur dari segalanya...
Tapi apakah itu bijaksana, Tuhan?
Mereka mencintai saya,
Menaruh harapan besar pada saya,
Memberi saya tanggung jawab yang cukup besar sebagai 'the only one'.

Tapi aku ingin bermanja, Tuhan. Bolehkah?
Ingin rasanya ada yang menghiburku saat aku tak cukup 'mood' untuk melakukan tugas dan tanggung jawabku.
Ya, sayapun tahu, kadang murid - murid dan para guru sangat menghibur saya.
Pekerjaan ini pun menghibur saya.

Aku tak tahu, Tuhan, apa yang sedang terjadi pada diriku!
Kembalikan semangatku,
kembalikan senyumanku

Berikanlah saya kebijaksanaan untuk menghadapi semua ini!
Berikanlah saya hati yang lebih untuk mengerti segala sesuatunya dengan lebih baik.
Maafkan saya, Tuhan,
jika saya masih sering mengecewakanMu!

Monday, June 6, 2011

Surat Cinta Untukku

November 2007
Hari ini kudapatkan surat cinta,

Dia menuliskan sesuatu hari ini,

Di sepucuk kertas kumal dituliskannya demikian:

You are beautiful, if you never angry.
You are so soft, if you never shout.
You are so pretty, if never cry.
You are my best teacher, Miss Linga!
I love you!
(Ku tulis apa adanya di sini, sama seperti yang ia tuliskan di atas kertas itu, tanpa perubahan dan penyesuaian tata bahasa dan ejaan yang benar)

Juni 2011

Sekarang dia telah bertumbuh,
Hampir kelas delapan tepatnya.
Saat itu dia masih kelas empat.
Teman - temannya pun tak memiliki hubungan yang baik dengannya.
Dia dikucilkan, tak disukai oleh teman - temannya.
Dia jorok, suka mengupil dan tidur di kelas.
Kadang juga bau.
Dia tak naik kelas dua kali.

2007 - 2008
Tapi suatu kali, ku ajak dia berbicara.
Dia pun berkata - kata banyak sekali.
Dia bercerita tentang keluarganya.
Dia bercerita bahwa dia tak suka sekolah.
Dia tak suka jika dia dipaksa.

Oh, itukah?
Itukah yang membuat dia menjadi seperti ini?
Guru - guru lain pun mengatakan bahwa dia jorok, menyebalkan, pembuat masalah, tak bisa diajak bekerja sama dan suka menggoda.
Ya, suka menggoda guru - guru wanita tepatnya.

Pernah dia mencoba memegang pantat salah seorang dari guru wanita di sekolah kami.
Guru itupun terkejut.
Kujelaskan padanya, bahwa itu tak pantas dan tak sopan.
Diapun mengangguk - angguk mengerti. Tapi entah apa yang ada di benaknya.

Pernah suatu kali,
aku marah besar dengan kelas itu.
Aku tak tahan lagi,
karena semua orang mencemoohnya,
aku pun menangis.
Aku berteriak saat aku melihatnya dicemooh.
Teriakanku mengejutkan kelas itu.
Namun, di luar perkiraanku,
dia menuliskan sepucuk surat itu.
Dia takut melihatku marah hari itu.

Terkadang dia memelukku dari belakang saat aku membereskan meja kerjaku.
Terkadang dia mengagetkanku, saat pulang sekolah sewaktu hujan.

Tapi dasar manusia,
kadang aku mengesampingkannya.
Dia pun pergi, meninggalkanku, mungkin dengan penuh kekecewaan.

"I'm so sorry for that !"

Di lain hari, kupuji hasil karya miliknya.
Project Social Studies tentang Mesir itu.
Ya, aku masih mengingatnya.
Cukup kotor, tak rapi, tulisannya pun acak - acakan.
Tapi cukup buatku,
Karena itu memang sudah mencakup inti dari pembelajaran mereka hari ini.

"Wow, great! This is GREAT! You can make it by yourself, Joxel!
I'm proud of you!
See, you can do it!"

Ku beri dia nilai 8.
Meskipun yang lain lebih rapi, lebih indah dengan hiasan di sana sini,
Aku menghargai usahanya,
Dia tidak tidur di kelasku.
Dia berusaha membuatnya.
Dia sudah melakukan yang terbaik.
Dan tulisannya pun tak sejelek biasanya.
Kutunjukkan padanya, nilai yang sudah kutulis di buku nilaiku.
"See this, Joxel! You can make it! 8 for your project!"
Dia pun tersenyum malu - malu.

6 Juni 2011

Hari ini aku mengingatnya lagi.
Aku ingin sekali kembali ke Jakarta.
Ke sekolah itu.
Di mana aku benar - benar belajar.
Di mana aku bertemu dengan sang pemuja kecilku.
Di mana aku bisa belajar, arti dari sebuah perhatian kecil.
Di mana aku bisa menghargai, arti penting dari sebuah kasih sayang.

Aku tak peduli
Apa kata orang, "Mana bisa kaya jika kau hanya menjadi guru?"

Kaya ku mungkin bukan kaya mu.
Aku merasa aku kaya, bisa bertemu dan mengajar anak - anak itu.
Aku kaya karena kau diperbolehkan menyayangi mereka tanpa batas.
Bahkan yang dikucilkan sekalipun.
Aku juga tak peduli, hitam atau putih kulit murid - muridku.
Aku juga tak peduli, jika mereka jorok dan bau.
Aku sayang mereka.
Aku tahu, mungkin uangku tak sebanyak uangmu.
Tapi pernahkah, kau mendapat surat cinta itu?

Joxel,
thank you for your love letter.
I still keep it!
Who knows, someday I lost my spirit to teach!
I will read it again and again,
so that it can strengthen me!


With Love,

Miss Lingga ;)

How Can It Be So Easy?

Seorang teman menyampaikan ceritanya, begini kira - kira:
Hanya dalam beberapa hari, langsung saja hati terpatri.
Hanya dalam hitungan jam, memutuskan memulai masa depan.
Hanya dengan jaminan: "malu kalau tak ada hasil untuk dibawa pulang"
How can it be so easy?
Apakah semudah itu memulai segala sesuatunya? Ataukah saya yang memang mempersulit ini semua?
Ah, tidak!
Yang benar saja!
Aku harus menikah dengan orang asing? Yang baru bertemu beberapa jam saja?
Apa dunia sudah gila?
Ataukah itu hanya ketakutanmu semata?
Takut jika dunia tiba - tiba binasa?
Lalu dengan sedikit menyakitkan, kukatakan:
Matilah, jika memang harus mati!
Hiduplah, jika memang harus hidup!
Tapi tak berangasan mencari pasangan karena ketakutan yang berlebihan..
(Lebay dan alay!!)
Takut jika teman - teman menggunjingkan..
Ah, perspektif macam apa itu?


Well, aku lebih bangga memiliki teman yang berani berkata, "I ∂σи'т give a damn! This is me! So what?"
dari pada, "Duh, apa nanti kata orang?"

Ya ya..
Belajar, kawan!
Belajar untuk berkata TIDAK, jika memang tidak.
Belajar untuk tidak peduli, jika memang tak pantas untuk dipedulikan.
Belajar untuk bersikap, dari pada menjadi pecundang!

Cinta? Akupun sedang jatuh cinta. Tapi aku tak akan melakukan hal yang sama dengan apa yang sudah kau lakukan!
Aku tak mau mengulang kesalahan serupa!
I'd better marry my best friend rather than marrying a stranger!!
So, I'd better spend my time, having a best friend than finding a stranger.
(And here, stranger means the one who is strange, wierd and disconnected...)

Mendingan, sekarang kita menyibukkan diri saat menunggu..
Being busy while waiting! Mungkin itu lebih baik, dari pada menganggurkan diri dan mencari - cari hal - hal yang tak perlu dan tak bermutu untuk dibawa dalam hidup.

Hidup ini indah, kawan!
So, move on!
"Life is too short for worrying too much for little things!"
So, I ∂σи'т give a damn, baby!!
Dan usia hanyalah kumpulan angka!


Semoga, terbukalah pikiran dan hatimu!

Tuesday, April 26, 2011

Plain or Ignorance?

Plain...
That is the feeling
I don't really know how I should feel
how I should take care of my heart
and why I shouldn't ignore the sparks

I pretend not to have them all
Rather than I lose them at the end
again
like before

Well, that's why
Just shut up
If you do not really know how to deal with a HEART

and I forgot how to deal with a heart
so that's why
I'm gonna shut my mouth up!

and let the one
slap my face and wake me up
so that I will be talking
in the name of love
again

Sunday, April 24, 2011

My Lovely Saturday: April 23, 2011

Today is so lovely!

I joined HASH (after a long time I don't get involved) again... Well, it was great... I missed running in the long track, drinking some 'beers' after finish (not really beers, it's just soft drink w/ 0% alcohol. They have the 'real' beers though) and conquering the long track while chatting with some friends on the way.
Well, Semarang House Hash Harriers comprise of some expatriates and local people.

Today, the site was in Gedawang, Mega Bukit Mas. It's still being developed to be a residential area. Yet, some of the areas are still 'virgin'.
Well. virgin here doesn't mean 'it's never touched' but it is still natural as it is.

I enjoyed every moment there. I love to see the views. It's great to meet the local people there, practicing my Javanese (that actually I'm not really good in it). I feel excited to walk on the rice fields, cross the small river and try to find the track by seeing the shredded paper left by the Hare.
We walked and ran up and down the hills. It was awesome. Anita, Emma and I were there together.
I was happy to see my shoes covered up with the mud. Haha...

Something that I learned from this long track walking is that actually, I did not really know how long the distance was in the beginning (it's actually 6 km (only).). So, I walked and ran just following the shredded paper without knowing where and when I could get back to the beginning point. It's just like my life. I don't really know where and when I will find my last point but I just do my best to finish each track of my life...

I was walking and walking, running and running, up and down the hills. My goal was just to finish the track and that's it. I should conquer that long track! (even though this was the first time for me to exercise after a long break due to nephrotic syndrome). I was afraid if I couldn't finish the long track as it's quite steep when we were going up and slippery when going down.

But yes, I finished that! haha...
I was left behind (4th from the last) but i did enjoy that...
It left me with a few scratches on my legs as it was because of my stupidity to wear shorts! I stepped on many thorny plants and they scratched me.. Ho ho ho.. I love to be sweaty as well. It's been a long time I don't do this kind of activity.  I feel fresher!

To continue what I wrote last time about "Sneakers vs Stilettos".... This is it! I love to be with my sneakers in this kind of occasion rather than with my stilettos in a party that I should disguise myself, my feeling and really think about 'manner'. Here, I can run and walk and shout and scream and shut up and chitchat with my friends. I can sing and take pictures of the natures as well.
I don't hate parties with stilettos, or any occasions that force me to wear my stilettos. But yeah... I found it comfortable to be with sneakers than with stilettos.

So, still, I wanna be with sneakers... They make me more adventurous and I get my own freedom to be myself!
Thanks a bunch to my sneakers!

Can't wait for next week! Let's rock!


Linggayani Soentoro
April 23, 2011



Friday, April 22, 2011

Ada apa dengan perkawinan masa kini?

Dua minggu terakhir ini, saya mendengarkan sharing 3 teman saya yang baru saja menikah. Umur perkawinan mereka masih sangat muda. Dan ketiganya mengatakan hal yang sama: Perkawinan mereka bermasalah. 
Saya sendiripun belum (pernah) menikah. Dan belum pernah merasakan menjadi seorang istri dan atau ibu. Namun terkadang, bahasan perkawinan di majalah - majalah, mendapat atensi yang cukup besar dari saya. 
Ada lima masalah mendasar (menurut saya) yang bisa saya ambil dari sharing ketiga teman saya:
 
Problem pertama:
Ketiganya mempersoalkan kebiasaan - kebiasaan yang dilakukan oleh suami - suami mereka yang mereka anggap tidak wajar. Mereka tahu saat mereka berpacaran, kebiasaan ini dilakukan, namun tidak di depan mata mereka. Saat mereka melihatnya, mereka tidak dapat 'menerimanya'. 
Sebenarnya apa bedanya, saat mereka sudah mengetahui kebiasaan tidak wajar itu dari kata - kata, dan saat mereka menjalani hidup berkeluarga secara langsung?
Ataukah ini hanya sebuah bentuk kekagetan pasangan muda?
 
Problem kedua:
Ketiganya mempersoalkan masalah finansial, yang mana mereka seharusnya sudah mempersiapkan dan rencanakan sebelumnya. Keberadaan rumah, besar kecilnya rumah, pembelian keperluan sehari - hari, perabot rumah, siapa bekerja siapa tidak, siapa harus mengeluarkan uang, siapa harus memberi siapa kenapa jadi masalah?
Apa tidak ada komunikasi sebelumnya?
Toh saat 'single' pun, kita mempunyai skala prioritas dan rencana keuangan sendiri? Atau tidak?
 
Problem ketiga: 
Ketiganya mempersoalkan ttg VISI HIDUP. Aku pengen begini, tapi dianya nggak mau begitu. Aku ga mau mendidik anakku seperti bapaknya nanti. Eemmmpphh... Kenapa? Apa kau tak cukup mencintai bapaknya dan latar belakangnya? Dan kau sudah tahu itu. Perkara anakmu mau bagaimana, apa itu tidak menyalahi hak asasi? Biarkan dia memilih, mau seperti bapaknya yang tidak kau sukai latar belakangnya ataukah seperti ibunya (yang mungkin bapaknya jg tak menyukai latar belakangnya) atau seperti ayah dan ibu tetangga? Tak perlu lah muluk - muluk untuk sebuah keinginan, cukup penuhi apa yang ada 5 meter ke depan. 
Seperti sorot lampu mobil, jaraknya pun terbatas pada jarak pandang tertentu, hanya menjangkau beberapa meter ke depan. Tapi toh untuk berjalan 100 kilometer, tetap sampai. Karena semua memang harus dilakukan secara bertahap.
 
Problem keempat:
Dua dari tiga mengatakan bahwa kehidupan perkawinan mereka membosankan. Saya tak tahu bagaimana rasanya menikah, belum tahu tepatnya.
Tapi saya pernah merasakan bagaimana pacaran itu. Mungkin dengan tingkat kedewasaan dan dengan menghadapi permasalahan yang berbeda.
Namun, saya yakin, seharusnya, dengan perkawinan, hidup jadi lebih berwarna. Paling tidak, ada seseorang di samping kita untuk dicintai dan mencintai.
Entah, mungkin setelah janji perkawinan (entah itu di depan penghulu, pendeta, ulama, romo, atau siapa lah itu..) segalanya menjadi berubah.
 
Problem kelima:
Mereka mudah sekali mengatakan PISAH/CERAI? 
Ada apa dengan mental mereka. Mama saya pernah berkata, apapun yang terjadi, PANTANG mengucapkan kata - kata tersebut di atas.
Jika perkawinan adalah sebuah komitmen, semudah itukah mengatakan dan/atau memutuskan untuk berpisah?
Apakah tidak ada jalan lain yang lebih bijaksana dan dewasa, untuk menyelesaikan masalah - masalah mereka?
Saya tidak tahu, apakah saya juga tahan uji dengan segala cobaan hidup perkawinan. Namun bagaimana komitmen mereka dengan Tuhan?
Buat apa menikah juga toh akhirnya cerai, tak dapat mempertanggungjawabkannya pada sesama dan Sang Khalik?
 
Jadi, apa esensi dari sebuah perkawinan?
Janji yang tak perlu ditepati?
Hanya demi status sosial, karena takut 'terlambat'?
Berlangsung begitu saja, yang penting menyelenggarakan pesta demi gengsi, setelah itu lupa diri?
 
 
 
Linggayani Soentoro 
April 22, 2011
 

Slices of World Youth Day 2008

Day 1
Catechism that we have got was awesome. It's really answering my questions.
Once I was asking like this, if God forbids Adam and Eve to take the forbidden fruit, why should God provide it?
Then it was answered.
Actually, God gave Adam and Eve choices. They got their privilege to get everything in Eden except the forbidden fruit as the forbidden fruit is a symbol of both choice and limit as a human being. They took it and it means that they broke their own limit and fell into sin. Sin is also beyond our limitation as human beings. Sometimes, we don't realize that we do something and it's sinful.
So, we have limit and it's not true that we can go beyond our limit as human beings. In this perspective, if we go beyond our limit, we will fall into sins. God provided the forbidden fruit as the symbol of the limit for Adam and Eve. Yet, it's not the limit for the devil to take them to their sins.
Thus, we can call it as a sin because it's beyond our limit and it's not recommended by God.
In our life, sometimes we really face this condition. We know and understand that God gives us choices. Many choices to be taken in this world, from the good ones to the bad ones (provided by the 'earth' and beyond our limit). Shall we take the bad one and break our own limit so we just easily fall into sin? or we just take for granted of the choices and never think them over...(whether it's good or bad, it's important for our development as human beings and God's children?
Thus, we need the presence of the Holy Spirit in our lives to help us choose the good and the bad ones. We get the Holy Spirit as we were baptized as baptism is a fundamental choice to respond God's call to a decision and commitment as Christian. How beautiful it is to be Christian by answering God’s call, saying ‘YES’ to God by the work of Holy Spirit for our transformation.
Jesus is the perfect ‘YES’ to God and we are changed from our original ‘NO’ to God to be ‘YES’ by baptism. It means the reconciliation with God as well.
So, as Christian, we need to be proud as we were baptized and for sure Holy Spirit is working on us, transforming our lives to be better. So, when we are unsure and confused to decide/take some choices in life, ask Holy Spirit to go with us.

Day 2
Asking for the Holy Spirit, Asking for Its Gifts
There are several gifts of Holy Spirit:
1. Wisdom: understand something not from our own perspectives but from the perspectives of God
2. Understanding: forgive and give the second chance. It’s the connection between heart and mind. To gain the understanding is by praying.
3. Knowledge: gifts from God in form of intellectual thought
4. Right Judgment: holding, carrying, and transforming not only by intellectual thought.
5. Courage: to do things in spite of the obstacles. It takes a lot of courage not to walk away from faith.
6. Reverence: respect to see every value from every body.
7. Wonder and Awe: realization how God is (God is WONDERFUL & AWESOME).

Day 3
Holy Spirit as the Actor/Agent in the Reminiscence of the Church
We are not the primary actor of making the church. As we’ve got HOLY SPIRIT in our lives by our baptisms, Holy Spirit is working on it.
It’s recommended for us to be relaxed and cooperate when we are receiving the HOLY SPIRIT in our lives. Furthermore, with the help of Holy Spirit, we have missions to be accomplished:
1. To tell the truth together. The truth is JESUS. We have to surrender ourselves to the truth: JESUS because of His redemption. Telling the truth can be in form of evangelization: to spread the good news about Jesus Christ.
2. To share: telling about Jesus in form of spiritual gifts (sacrament of Eucharist). We should give it to others or it will not live in you. We should share LOVE and bring God as the distinctive of our lives as God loves us, God is merciful and God is LOVE. So, as human beings, we should love someone. As someone is LOVE, someone is to love and someone is to be loved. This reminds us to find a right relationship with God and others.
Reflection: Look at the world, we are divided into many social status, religions, groups, tribes, nationalities, races, etc. Sometimes we fight each other only to defend ‘the status on earth’. Who will tell others to LOVE each other as brothers and sisters?
Church is universal and united, we are actual and we are in! So, take this mission and LOVE others.
3. Charity and Justice: With LOVE, we will establish charity and justice in our world.
In the end of the session, I was asking like this: How can I love those who are killing others (even in the name of God) for the sake of their own? For me, it’s against human right and it’s out of the capacity of human beings.
I shared this question to some friends as I didn’t get any opportunity to ask.
Some of my friends said like this, it’s our vocation to love those people/organizations. It’s our challenge. It’s our duty to spread love to them, even with the greatest risks you’ll get.
I remembered with the pattern of LOVE – HOPE – FAITH:
If we successfully spread LOVE others without looking at their conditions, we will be able to give them HOPE and finally they will have FAITH.
And we, as the witnesses to the world, to spread the good news about Jesus Christ, have already had FAITH in our heart. We should give others HOPE from our FAITH and from it, we can spread LOVE to others.
 
Linggayani Soentoro
August 2008

Incorporating the Universality of Christian Values in the Global Ethics' Point of View through Christian Higher Education

The existence of globalisation in the world has given much alteration in many aspects of human being’s life. Globalisation in one hand has changed the perspective in the interaction of human beings with the borderless, cross-cultural, and rapid communication. Yet, in the other hand, globalisation has become the potential source of conflict caused by the injustice situation, social gap, and the loosing of the cultural values, as well as discrimination in many aspects.
Thus, the universal societies within this universe need the global ethics. The global ethics put itself as the key to develop and create better circumstances in the universe: the interaction among the global human beings, justice, the equity in human rights, and democracy. Those things are the main elements of the global issues, which will be the principles of the global ethics.
The people in this world should develop a global ethics which can be applied equally in everything that is involved in the world affairs. Global ethics is one media to have the universalism as the fundamental principle. Hence, the equality of the human beings is brought in the first place. Equality has the closest relationship with the human rights. The universal human rights states that human beings are born equal, and all of them may enjoy the rights without concerning class, gender, race, community, or generation.
This is our duty to keep the environment of the world for our future generation. We have to take care of and use all the environmental resources for all the people needs: for all the members of present and future generation. So that, they can also enjoy the same opportunities as we have right now. Future generation will be our responsibility and our duty that we should concern it from now on.
What should we do to keep our future generation having their rights to enjoy the global environmental resources? It can be answered by the people themselves. The ability on creating a better global circumstance made by the people depends on the people themselves. Bottom-up approach will be an effective way to change and create a well-pattern framework in the globalisation circumstances. The starting point will be the individual himself. Having a good-quality individual can be derived from the educational institution.
Educational institution leads the future generation with the educational and ethical issues. Through this institution, the generation in this universe will be equipped with the awareness towards the changes global issues, open-minded individual to see the globalisation as medium to understand the cross-cultural and ethical values. The specific kind of the educational education is the highest level of the educational institution; university. Within this level of educational institution, the generation will be made up to have a critical thought, an independent personality, and idealism concept based on their intelligence and maturity. It is the purpose to prepare the generation to face the ever-changing social circumstances in the globalisation era (where the global ethics is placed as the central point).
Christian higher education is one type of formal educational institution, whose mission and vision is based on the Christian values; charity. Through its vision and mission, the students will be equipped with the values and responsibility to face the global society and the global issues, in form of fraternity, solidarity, and tolerance. Hence, if the students as the next generation already had the moral basis, ethics values, and developing intelligence, they would have the ability to implement those all things in the social life, where the global ethics are exist. In this way, the Christian values are applicable in the global ethics issues: human rights, democracy, and justice.
The implementation of the global ethics through the higher education can be done through many ways. The first example, the higher education can cooperate with NGO (non-governmental organization) to implement the global ethics directly to the society in its surrounding. Secondly, the educational institution should promote the mutual understanding within its surrounding, nation and global environment by holding an activity, like conference about issues that occur in its surrounding and in the world, or about the cross-cultural understanding. It may also come with the student exchange for example in the provincial/regional, national and international level. Thirdly, the higher education should realize that they are the part of the society, so they should also serve the society as the main part of the educational institution. Serving the society with the charity will give a best result for the better circumstances. Option for the poor for example, can be one of the missions that should be implemented by the people within the educational institution who should concern not only to the academic purposes, but also to the existence of the society in their surrounding.
The role of the Christian Higher Education should not be just limited on educating the young generation with the sophistication of science and technology but focusing on the implementation on that knowledge for the betterment of the world community. This is in one hand by integrating the students’ commitment to serve as agent of change in the nearby community and social environment. Globalisation should not be an issue if the matter of humanitarian and social affairs is concerned. In fact, it should become one of the strength points in enhancing the widespread of commitment throughout the world based one universal principled and values.
Giving the world’s commitment to halt the spread of poverty and humanity degradation, Christian Higher Education should equip the young generation with the spirit and commitment to care and take action in response to the ever-changing world around them. This should be especially incorporated in the Christian Higher Education’s curriculum and community services activities which should give a greater opportunity for the students to be involved in the social-empowerment projects.
It is highly expected that the young generation will be equipped with the feeling of concern for their surroundings. They are expected to be the vanguard of democracy and human rights in the future, to take pride in everything they contribute to the betterment of the society based on the Christian values and to promote the mutual cross-cultural understanding based on the networks they have built themselves with their fellow-students around the world.
Finally, the Christian higher education will be able to share a contribution to the global society in implementing the global ethics, and the global ethics will be able to be applied in each individual to reach the greater community, the global citizen. As the wise man says, “even the one thousand miles journey begins with one step forward” should become the spirit that enshroud the mind of the young generation that it takes courage and utter commitment to start making changes. Idealistic young mind should go side by side with the perspective of the real world surrounding them.
This is the idea of incorporating the universality of Christian values into the real work of humanitarian activities in the real world. The global ethics will become the guideline principles that will lead the young generation into the implementation of their shared idealism and the commitment to act. One point, the global ethics will bind them in one value, unity and belief to serve as agents of change in the real world, our world.

Linggayani Soentoro
Sent and presented in International Student Conference, Chinese University of Hong Kong
June 2005

Empati

Terkadang kita tak memahami, apa yang sedang terjadi...
di depan mata, di kanan dan kiri kita...
Mungkin bukan kita tak BISA memahami... namun kita tak MAU memahami...

Hanya butuh EMPATI
tuk memulai semua pemahaman...

Hanya butuh EMPATI
tuk mengerti apa yang sedang terjadi...

Hanya butuh EMPATI
tuk mengerti tujuan semua ini...

EMPATI adalah resonansi kekuatan diri...
tuk melahirkan pribadi yang tahu diri...

Semoga dengan EMPATI kita semakin kuat diri, tuk lebih mengerti orang lain dan menghargainya...
sehingga dapat memanusiakan pribadi....

Linggayani Soentoro
October 1, 2009

Momentum Kehidupan

Dalam setiap kehidupan kita, pasti terdapat momentum. Momentum itu selayaknya kasus serendipity, yang muncul tanpa kita duga, tanpa kita rencanakan, di luar pikiran kita. Namun, di balik kehidupan ini, sebenarnya ada "Sesuatu" yang telah merencanakan ini semua dan menuliskannya dengan baik. Mungkin banyak orang berkata bahwa itu adalah suratan takdir. Tapi saya lebih nyaman menyebutnya Momentum Kehidupan.
Terkadang banyak orang yang datang dan pergi dalam kehidupan kita, ada hal - hal yang tanpa kita duga terjadi secara spontan saja, ada koneksi - koneksi baru yang kita dapat tanpa kita bisa memikirkan bagaimana hal itu terjadi. Mungkin saja, saat itu kita tidak sedang memikirkan orang itu, namun tiba - tiba bertemu dan akhirnya menjadi sahabat baik.
Saat ini, mungkin saya menyadari bahwa banyak sekali momentum yang pada saat saya menerimanya, saya tidak dapat menduganya, bahkan tidak dapat merencanakan apa yang ada di depan. Saya sangat bersyukur, dalam setiap kejadian atau moment yang terjadi dalam kehidupan kita membuat saya lebih mengerti apa arti kehidupan ini. Sekalipun saat - saat tersebut membuat saya sakit atau sedih, namun saya percaya bahwa "Ia" menginginkan saya belajar dari semua yang saya dapat. Dan saya yakin, dengan melalui semua momentum ini, pada akhirnya saya akan dapat membagikannya pada orang lain, sebagai berkat tentang pembelajaran hidup.

Thank you God, for all the happiest and the saddest moments You've given me, to enrich myself to be more mature! I know You have purposes on me.. to be the blessings for others

Linggayani Soentoro,
Semarang, 8 March 2009

hidup dua puluh lima tahun

Tak terasa, ku telah hidup selama dua puluh lima tahun
Sama saja dengan seperempat abad

Namun, apa yang paling penting? Apakah lamanya waktu?

Pencapaian, itu yang menurut saya penting
Pemaknaan hidup, itu yang menurut saya penting
Kemauan untuk bangkit dari 'jatuh', itu yang menurut saya penting
Memaafkan dan mengampuni, itu yang menurut saya penting
Melakukan yang terbaik dan tak pernah menyerah, itu yang menurut saya penting
Kemampuan untuk bersyukur dalam segala hal, itu yang menurut saya penting
Kesadaran akan orang - orang di sekitar, itu yang menurut saya penting

Pencapaian dalam dua puluh lima tahun terakhir,
melibatkan banyak orang dalam hidup saya
Pewarnaan hidup selama dua puluh lima tahun ini,
melibatkan pula banyak manusia,
Kebangkitan dari jatuh,
juga tak lepas dari bantuan para malaikat tak bersayap
Kemampuan untuk bersyukur dalam segala hal,
juga karena doa para teman dan sahabat

Ukiran – ukiran dalam kehidupan saya,
Warna – warni dalam kehidupan saya,
Membuat saya sadar,
Bahwa banyak orang telah membuat hidup saya berharga dengan
Mencintai saya
Menyayangi saya
Menuntun saya
Mendukung saya
Menghargai saya
Mendoakan saya
Membantu saya
Menolong saya
Memberikan ilmu pada saya dan
Menukar pengalamannya,
Memperhatikan saya
Mempercayai saya
Melindungi saya
Menjadi berkat dan teladan bagi saya,
Memaafkan saya dan
Memberi saya kesempatan, untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi

Terkadang saya malu,
Terkadang saya sedih,
Berpikir,
Bahwa saya pernah menyakiti hati mereka,
Membuat mereka sedih
Dan melupakan mereka sejenak,
Dan bahwa saya tidak dapat membalas kebaikan mereka,
Bahwa saya tidak dapat memberikan apa yang telah mereka berikan untuk saya,
Bahwa saya tidak dapat melakukan apa yang telah mereka lakukan terhadap saya,


Namun ku bersyukur,
Karena hingga kini, saya diperkenankan untuk mengenal nama – nama yang mengisi relung kehidupan saya,
Yang selalu menemani dan mendengarkan keluh kesah,
Yang selalu mencoba untuk mengerti dan memahami,
Yang pernah tinggal dalam hati dan menyisakan kenangan terindah bagi sejarah kehidupan,
Yang pernah mengisi kehidupan dengan berbagai kebaikan hati,

Untuk itu saya menulis, tuk mengucapkan TERIMA KASIH
Bagi orang – orang terdekat
Yang telah mewarnai kehidupan dua puluh lima tahun ini…

Karena kau telah menjadi berkat bagi kehidupan ini…


July 20th, 2009


With Love and Pray,

Linggayani Soentoro

Curi Budaya Negeri Kita

Saat semua pihak sedang beramai - ramai mempergunjingkan pencurian budaya negara kita oleh Malaysia..

Tidakkah kita sebaiknya berpikir, mengambil hikmahnya..
Bahwa selama ini kita kurang memperhatikan nasib budaya negeri ini..
Bahwa selama ini kita dibutakan oleh budaya lain... yang mungkin juga kita curi...
Bahwa selama ini kita kurang mampu melihat kekayaan bangsa kita sendiri..
Bahwa selama ini kita sedikit malu untuk memakai dan memperkenalkan budaya negeri..

Nah, apakah kita masih punya hati untuk andil dalam carut marut kasus ini?
Harusnya kita berpikir, kita merenung, kita merefleksi..
Apakah kita sudah pantas disebut bangsa yang berbudaya?
Ya, kita memang memiliki budaya, tapi apakah semua dari kita tahu budaya kita?

Merefleksi bukan berarti mengalah dan menyerah..
Bukan berarti kita diam..
Bukan berarti kita bungkam..
Namun, perjuangan tetaplah dibutuhkan..
Tuk mempertahankan kredibilitas budaya bangsa ini..
Bahwa sebenarnya kita kaya.. sehingga bangsa lain pun memperebutkannya..
Seharusnya kita bangga akan kekayaan budaya bangsa ini...
Seharusnya kita peka, bahwa sebagai generasi muda, tugas itu ada di pundak kita..
Untuk tetap melestarikan budaya negeri...

Tunjukkan, bahwa kita masih pantas memiliki budaya bangsa ini.. menjaga dan memeliharanya hingga anak cucu kita nanti...

Semoga mata hati kita semakin dibukakan akan hal ini..
Tidak serta merta terprovokasi, akan carut marut dua negeri!
Melainkan berpikir kritis akan nasib bangsa ini!



Linggayani Soentoro
August 31, 2009

Kutemukan Tulisan Itu Hari Ini....

Ternyata harga dari sebuah keheningan hati sangatlah tinggi.
Manusia dengan jiwanya yg kompleks, terkadang terlalu menyusahkan diri sendiri,
Kadang tidak tahu bagaimana cara melarikan diri dari masalah yang sedang melanda hati.
Kadang keheningan hati dibutuhkan..
Dengan keheningan, dapat merasakan manis pahitnya hidup.
Dengan keheningan, dapat merasakan dan berpikir apa arti hidup yang sebenarnya..
Dengan keheningan, hidup dapat menyatu dengan jiwa.
Sekalipun sunyi.. Sepi...
Walau begitu...
'kan kutanya lagi, bagaimana manusia menjalani hidup hingga mati nanti?
Merasa dalam hingar bingar atau berpikir pasti dalam sunyi..?
Mati pun terasa sepi, kan?
Jadi kenapa menyiksa diri?
Nikmati sejak dini! Apa yang bisa dinikmati...!
 
Linggayani Soentoro
Jakarta, December 8, 2003

Cinta Tanpa Rasionalitas adalah BASI!

Ketika keindahan cinta yang demikian agungnya rusak.
Ketika kedamaian terusik di bawah kepak sayapnya.
Ketika keutuhan cinta terkikis oleh kebutuhan dan kemasyikan dunia.

Tak perlulah mengawali segalanya dengan rayuan.
Tak perlulah memulai dengan kepura-puraan belaka!
Tak perlulah menjanjikan keindahan cinta jika Sang Pemandu tak tahu arahnya.
Tak perlulah menawarkan surga dunia jika tak tahu apa esensi dari cinta itu sendiri!
Karena kini, cinta tanpa rasionalitas adalah B.A.S.I!
Maafkan saya, wahai para Pujangga Cinta, janganlah kau marah karena kata-kataku ini..
Karena ku yakin ada banyak manusia yang masih bisa memahami esensi dari cinta itu sendiri..

(Tiba-tiba muncul pertanyaan dari dalam diri, sebenarnya apa yang kau cari?)

Kujawab, kesederhanaan dalam memaknai hidup dan cinta itu sendiri. Kemauan mewujudkan kesemuanya itu bersama.. Atas nama cinta dan rasionalitas.. Bukan berdasar pada kecantikan dan kemewahan belaka..

Linggayani Soentoro
November 19, 2009

International Oblate Youth Encounter and World Youth Day 2008, Melbourne - Sydney, Australia

Bagi saya, IOYE dan WYD 2008 itu seperti hadiah yang mengingatkan kembali akan iman yang terkadang pasang surut.
Mengapa saya sebut hadiah, karena bagi saya, kesempatan ini tidak datang pada semua orang dan ini cukup membuat saya merasa gembira, seperti anak yang mendapatkan kado di hari ulangtahun.
Kesan saya secara khusus pada kegiatan IOYE di Melbourne. Menurut saya, kegiatan tsb sangat terorganisir dengan baik dan memberi contoh pada saya, baik dari leadership/organisasi dan tanggung jawab. Panitia di sana patut diacungi jempol karena memang benar2 berusaha dan bekerja keras. IOYE bagi saya juga ajang untuk festival - festival budaya dan menambah teman dekat. Di situ kita belajar banyak sekali tentang budaya dari negara - negara lain (cross cultural understanding) dan masuk ke dalam dunia tentang bagaimana mengenal orang lain dengan berbagai latar belakang dan karakter. IOYE juga memberikan memori yang tak terlupakan bagaimana kebersamaan kita dengan teman2, baik dari Indonesia sendiri maupun dari negara - negara lain.

Rasa senasib sepenanggungan dari teman - teman Indonesiapun sangat terasa karena di sana kita saling menjaga dan memperhatikan (terutama saat sakit). Dramatisasi jalan salib juga membuat saya terharu, karena saya merasa perjalanan hidup saya tidaklah seberat apa yang dialami Yesus.
WYD 2008 sangat membantu saya dalam perkembangan iman, terutama saat katekese di host parish. Sesi ini sangat berguna bagi saya dan telah menjawab apa yang pernah saya tanyakan. Berbagai festival dan perjalanan juga menghiasi kehidupan saya, karena banyak hal yang terjadi saat itu dan memberikan pelajaran bagi saya, baik secara mental maupun spiritual. Secara mental, saya diuji untuk berusaha mengerti orang lain dan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi mereka (terutama teman2 1 grup). Secara spiritual, banyak hal yang saya lihat dan alami yang memberi kelegaan dan kedamaian hati, terutama saat melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Di situ beberapa teman memberi kesan bahwa perjalanan itulah yang menyadarkan bahwa itulah gambaran hidup. Perjalanan yang jauh dan melelahkan untuk sesuatu tujuan yang menyenangkan dan melegakan. Selain itu, saya juga memiliki kesan yang mendalam saat diskusi kelompok yang sarat dengan sharing pengalaman hidup secara pribadi maupun organisasi di gereja. Itu juga memberikan pelajaran bagi saya bagaimana kehidupan teman2 di luar Jawa yang harus survive dan menantang alam demi terwujudnya sebuah komunitas iman yang solid.

Kehidupan dalam kelompok juga sangat majemuk. Perjalanan sehari - hari dengan kelompok telah memberikan pelajaran yang baik bagi saya untuk lebih mengerti orang lain yang memiliki karakter yang berbeda - beda. Kedewasaan seseorang di sini tidaklah ditentukan oleh usia namun lebih pada penguasaan diri. Walaupun saya bukan seorang yang sempurna dalam kedewasaan, namun saya rasa melalui kegiatan ini, kedewasaan saya dan teman - teman pasti lebih terbentuk. Self awareness dan social awareness pun mulai tampak lebih jelas melalui kegiatan ini. Walaupun timbul gesekan - gesekan, namun jika saling mengerti, memahami dan berani berkata dan mengkomunikasikan segala sesuatu dengan baik, maka gesekan itu akan pudar.

Bagi saya, kesan yang sangat mengharukan adalah ketika harus berpisah dengan host families (baik dari Melb atau Syd), karena selama 1 minggu sudah diperlakukan dengan baik sekali dan kita berusaha berkomunikasi dengan mereka serta mulai timbul kedekatan dan rasa sayang satu sama lain. Di Melbourne, Fullers (our host family) benar2 membantu dan mengerti akan keadaan kami sebagai orang Indonesia (yang gemar makan nasi dan kehangatan). Mereka menyediakan nasi dan heater sehingga kami benar2 nyaman. Namun, kami belajar untuk hidup ala western dengan berusaha makan cereal dan roti. Di Sydney, Clements juga melakukan hal yang sama dengan memberikan perhatian dengan baik. Mereka pun merayakan ulang tahun saya dengan memberi kejutan chocolate mud cake dan vodka setelah pulang dari kota. Bagi saya itu sangat meriah karena itu pertama kali saya berulangtahun di negara lain. Perpisahan dengan mereka ditandai dengan foto bersama dan rasa haru. Di sana saya belajar banyak bagaimana hidup mereka dan hidup dengan mereka serta hidup di Australia pada umumnya.

Saya sangat berterimakasih sekali dan bersyukur untuk bisa mengikuti kegiatan ini. Terimakasih untuk memberikan saya segudang kenangan dan pengalaman yang tak kan saya lupakan. Semoga 3 tahun mendatang saya juga dapat mengikuti kegiatan serupa dengan segudang pengalaman berbeda yang pasti juga akan memperkaya dan menghiasi hidup saya.
Terima kasih untuk teman - teman dan Romo atas dukungan dan kepercayaanya.


Linggayani Soentoro
September 2008

Article on Sabitah Magazine, Trinitas Church, Cengkareng, West Jakarta
Title: Apa Kata Mereka yang Ikutan IOYE & WYD 2008?