Suatu ketika seorang guru sekolah dasar menyuruh setiap muridnya membawa satu buah kantong plastik transparan dan kentang sebanyak jumlah orang yang dibenci. Anak-anak pun mengikuti perintah sang guru tadi. Ada yang membawa satu kentang, dua kentang hingga lima kentang.
Kemudian anak-anak itu diminta untuk menuliskan dengan spidol nama orang yang mereka benci pada kentang tersebut. “Sejak hari ini hingga tujuh hari ke depan, kalian harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut ke mana pun kalian pergi, termasuk jika kalian pergi ke toilet. Juga ketika tidur, kantong berisi kentang itu harus berada dekat kalian. Bisa?” kata sang guru. Serentak seluruh kelas menjawab, “Bisa, Bu Guru!”
Hari demi hari berlalu, kentang-kentang itu pun mulai membusuk. Bahkan ketika pelajaran sedang berlangsung, suasana menjadi tidak enak akibat bau busuk. Murid yang membawa lima kentang pun mengeluh, “Berat dan bau!”
Setelah satu minggu lewat, sang guru mempersilakan murid-murid untuk membuang kantong berisi kentang-kentang tersebut di tong sampah. Murid-murid sangat bersukacita dan lega. “Bagaimana rasanya membawa kentang selama satu minggu?” tanya sang guru. Beragam jawaban mulai muncul: berat, bau, tidak nyaman hingga mau muntah. “Seperti itulah hidup kita jika kita tidak mau mengampuni orang lain. Bisa kalian bayangkan jika seseorang membawa kebencian seumur hidupnya. Oleh sebab itu, lepaskanlah pengampunan. Orang yang tidak mau mengampuni ibarat orang yang memegang durian erat-erat. Semakin ia tidak mau melepaskannya, semakin ia merasa sakit,” lanjut sang guru.
Cerita di atas yang dikirimkan seorang teman kepada saya sungguh menggugah hati. Bukankah kita kerap melihat orang yang tidak bahagia dalam hidup ini karena tetap memilih untuk hidup dalam kebencian? Ya, mereka memilih untuk senantiasa “menggendong” batu yang amat berat ke mana pun mereka pergi sehingga langkah mereka menjadi tersendat-sendat. Jangankan untuk berlari, untuk melangkah tegak pun sudah tidak sanggup.
Tidak Mudah mengampuni
Mengampuni tentulah bukan perkara mudah. Bagi saya, mengampuni lebih merupakan urusan hati daripada logika. Dengan mengampuni, seseorang dapat hidup lebih tenang dan siap untuk menyosong masa depan yang lebih baik. Sebaliknya dengan tidak mengampuni, seseorang akan hidup dalam emosi kebencian dan menghalangi berkat-berkat Tuhan tercurah ke dalam hidupnya.
Ada beberapa hal penting yang saya pelajari berdasarkan pengalaman hidup tentang mengampuni.
Pertama, tidak seorang pun bisa kembali ke masa lalu. Bahkan saya kerap mengatakan, Tuhan pun tidak mau mengubah masa lalu seseorang. Masa lalu adalah tempat belajar. Bukan tempat tinggal! Masa lalu adalah bagian dari sejarah yang tidak bisa diulang. Terkadang jauh lebih sulit untuk mengampuni diri sendiri atas berbagai kesalahan masa lalu tapi kita tetap harus sadar, masa lalu telah berlalu. Petiklah hikmah dari semua peristiwa itu, minta ampun kepada Tuhan dan bertobatlah. Wujud dari tobat yang paling nyata adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan, banyak orang yang justru berani membagikan masa lalunya yang kelam kepada sesama sehingga bisa menginspirasi dan mengingatkan orang lain agar tidak melakukan hal yang sama.
Kedua, mengampuni adalah persoalan pilihan. Ya, kita bisa memilih untuk terus hidup dalam kebencian dan menjadikan kebencian itu pusat kehidupan kita. Sebaliknya kita bisa memilih untuk melepaskan masa lalu. Memang melupakan masa lalu hampir tidak mungkin tapi kita bisa menjadikan masa lalu tidak lagi memiliki ikatan emosional dengan diri kita. Joel Osteen dalam bukunya Your Best Life Now mengatakan dengan tegas, “Jika kita pahit hati dan penuh kebencian itu karena kita sedang mengijinkan diri kita untuk tetap demikian.” Saya kerap melihat banyak orang yang hidupnya tidak bahagia karena memilih untuk membiarkan rasa sakit dari masa lalu meracuni kehidupannya hari demi hari.
Ketiga, pengampunan adalah urusan rohani. Dibutuhkan kemauan yang kuat dan bukanlah kemampuan untuk sungguh dapat mengampuni. Ketika kemauan itu muncul, dekatkan diri kepada Tuhan selalu. Serahkanlah semua beban itu kepada-Nya dan mintalah kemampuan dari-Nya agar sungguh dapat mengampuni. Ingatlah bahwa kemampuan manusia selalu terbatas! Ini tidak bisa dilakukan hanya sekali-sekali tapi harus terus-menurus dengan kemauan yang kuat. Saya sendiri pernah melihat kasus seorang pemuda yang diterlantarkan ayah kandungnya bahkan ayah kandungnyalah yang membunuh ibu kandungnya. Ia perlu waktu puluhan tahun agar sungguh bisa mengampuni ayahnya itu.
Keempat, ubahlah kebiasaan lama. Seringkali seseorang sulit untuk mengampuni karena ia masih sering berpikir dan berbicara mengenai masa lalunya dengan penuh emosi kebencian. Hal ini seringkali terjadi ketika seseorang memandang dirinya semata-mata adalah sebagai korban. Hentikanlah kebiasaan in!. Ibarat akar sebuah pohon, semakin sering seseorang memikirkan dan membicarakan masa lalu, semakin dalamlah akar pohon tersebut dan akan semakin sulit untuk dicabut.
Kelima, waspadai munculnya gambaran masa lalu. Pikiran manusia ibarat saluran TV yang dapat kita pilih. Jika sesekali terlintas gambaran masa lalu yang kelam, segera ganti saluran Anda ke saluran Ilahi. Cara yang paling baik adalah dengan berdoa dan datanglah pada Tuhan. Jangan menganalisa atau melakukan pembenaran atas apa yang terjadi di masa silam. Katakan kepada Tuhan, “Tolonglah aku Tuhan untuk mengubah semua ini menjadi kebaikan sesuai dengan rencana-Mu!”
Perkenanlah saya menutup jumpa kita kali ini dengan sebuah nasihat bijak dari Mary Karen Read. When deep injury is done to us, we never recover until we forgive. Forgiveness does not change the past. But it does enlarge the future. Ketika kita mengalami luka yang begitu dalam, kita tidak akan pernah pulih sampai kita mengampuni. Pengampunan tidaklah mengubah masa lalu. Namun pengampunan akan menjadikan masa depan yang lebih baik.
Bagaimana menurut Anda? ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Click www.pauluswinarto.com.
Kemudian anak-anak itu diminta untuk menuliskan dengan spidol nama orang yang mereka benci pada kentang tersebut. “Sejak hari ini hingga tujuh hari ke depan, kalian harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut ke mana pun kalian pergi, termasuk jika kalian pergi ke toilet. Juga ketika tidur, kantong berisi kentang itu harus berada dekat kalian. Bisa?” kata sang guru. Serentak seluruh kelas menjawab, “Bisa, Bu Guru!”
Hari demi hari berlalu, kentang-kentang itu pun mulai membusuk. Bahkan ketika pelajaran sedang berlangsung, suasana menjadi tidak enak akibat bau busuk. Murid yang membawa lima kentang pun mengeluh, “Berat dan bau!”
Setelah satu minggu lewat, sang guru mempersilakan murid-murid untuk membuang kantong berisi kentang-kentang tersebut di tong sampah. Murid-murid sangat bersukacita dan lega. “Bagaimana rasanya membawa kentang selama satu minggu?” tanya sang guru. Beragam jawaban mulai muncul: berat, bau, tidak nyaman hingga mau muntah. “Seperti itulah hidup kita jika kita tidak mau mengampuni orang lain. Bisa kalian bayangkan jika seseorang membawa kebencian seumur hidupnya. Oleh sebab itu, lepaskanlah pengampunan. Orang yang tidak mau mengampuni ibarat orang yang memegang durian erat-erat. Semakin ia tidak mau melepaskannya, semakin ia merasa sakit,” lanjut sang guru.
Cerita di atas yang dikirimkan seorang teman kepada saya sungguh menggugah hati. Bukankah kita kerap melihat orang yang tidak bahagia dalam hidup ini karena tetap memilih untuk hidup dalam kebencian? Ya, mereka memilih untuk senantiasa “menggendong” batu yang amat berat ke mana pun mereka pergi sehingga langkah mereka menjadi tersendat-sendat. Jangankan untuk berlari, untuk melangkah tegak pun sudah tidak sanggup.
Tidak Mudah mengampuni
Mengampuni tentulah bukan perkara mudah. Bagi saya, mengampuni lebih merupakan urusan hati daripada logika. Dengan mengampuni, seseorang dapat hidup lebih tenang dan siap untuk menyosong masa depan yang lebih baik. Sebaliknya dengan tidak mengampuni, seseorang akan hidup dalam emosi kebencian dan menghalangi berkat-berkat Tuhan tercurah ke dalam hidupnya.
Ada beberapa hal penting yang saya pelajari berdasarkan pengalaman hidup tentang mengampuni.
Pertama, tidak seorang pun bisa kembali ke masa lalu. Bahkan saya kerap mengatakan, Tuhan pun tidak mau mengubah masa lalu seseorang. Masa lalu adalah tempat belajar. Bukan tempat tinggal! Masa lalu adalah bagian dari sejarah yang tidak bisa diulang. Terkadang jauh lebih sulit untuk mengampuni diri sendiri atas berbagai kesalahan masa lalu tapi kita tetap harus sadar, masa lalu telah berlalu. Petiklah hikmah dari semua peristiwa itu, minta ampun kepada Tuhan dan bertobatlah. Wujud dari tobat yang paling nyata adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan, banyak orang yang justru berani membagikan masa lalunya yang kelam kepada sesama sehingga bisa menginspirasi dan mengingatkan orang lain agar tidak melakukan hal yang sama.
Kedua, mengampuni adalah persoalan pilihan. Ya, kita bisa memilih untuk terus hidup dalam kebencian dan menjadikan kebencian itu pusat kehidupan kita. Sebaliknya kita bisa memilih untuk melepaskan masa lalu. Memang melupakan masa lalu hampir tidak mungkin tapi kita bisa menjadikan masa lalu tidak lagi memiliki ikatan emosional dengan diri kita. Joel Osteen dalam bukunya Your Best Life Now mengatakan dengan tegas, “Jika kita pahit hati dan penuh kebencian itu karena kita sedang mengijinkan diri kita untuk tetap demikian.” Saya kerap melihat banyak orang yang hidupnya tidak bahagia karena memilih untuk membiarkan rasa sakit dari masa lalu meracuni kehidupannya hari demi hari.
Ketiga, pengampunan adalah urusan rohani. Dibutuhkan kemauan yang kuat dan bukanlah kemampuan untuk sungguh dapat mengampuni. Ketika kemauan itu muncul, dekatkan diri kepada Tuhan selalu. Serahkanlah semua beban itu kepada-Nya dan mintalah kemampuan dari-Nya agar sungguh dapat mengampuni. Ingatlah bahwa kemampuan manusia selalu terbatas! Ini tidak bisa dilakukan hanya sekali-sekali tapi harus terus-menurus dengan kemauan yang kuat. Saya sendiri pernah melihat kasus seorang pemuda yang diterlantarkan ayah kandungnya bahkan ayah kandungnyalah yang membunuh ibu kandungnya. Ia perlu waktu puluhan tahun agar sungguh bisa mengampuni ayahnya itu.
Keempat, ubahlah kebiasaan lama. Seringkali seseorang sulit untuk mengampuni karena ia masih sering berpikir dan berbicara mengenai masa lalunya dengan penuh emosi kebencian. Hal ini seringkali terjadi ketika seseorang memandang dirinya semata-mata adalah sebagai korban. Hentikanlah kebiasaan in!. Ibarat akar sebuah pohon, semakin sering seseorang memikirkan dan membicarakan masa lalu, semakin dalamlah akar pohon tersebut dan akan semakin sulit untuk dicabut.
Kelima, waspadai munculnya gambaran masa lalu. Pikiran manusia ibarat saluran TV yang dapat kita pilih. Jika sesekali terlintas gambaran masa lalu yang kelam, segera ganti saluran Anda ke saluran Ilahi. Cara yang paling baik adalah dengan berdoa dan datanglah pada Tuhan. Jangan menganalisa atau melakukan pembenaran atas apa yang terjadi di masa silam. Katakan kepada Tuhan, “Tolonglah aku Tuhan untuk mengubah semua ini menjadi kebaikan sesuai dengan rencana-Mu!”
Perkenanlah saya menutup jumpa kita kali ini dengan sebuah nasihat bijak dari Mary Karen Read. When deep injury is done to us, we never recover until we forgive. Forgiveness does not change the past. But it does enlarge the future. Ketika kita mengalami luka yang begitu dalam, kita tidak akan pernah pulih sampai kita mengampuni. Pengampunan tidaklah mengubah masa lalu. Namun pengampunan akan menjadikan masa depan yang lebih baik.
Bagaimana menurut Anda? ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Click www.pauluswinarto.com.
No comments:
Post a Comment