Tuesday, August 16, 2011

Ing Ereng - Erenging Redi Merapi (di Lereng Gunung Merapi)

"Badhe Pinarak, Mbak!"
Kalimat pendek nan ramah yang selalu ku dengar saat ku berpapasan dengan penduduk lereng Merapi.
Ngargo Mulyo nama desa itu.
Ingin ku ke sana lagi!

Awalnya aku merasa sedikit ragu, bisakah aku tinggal dengan mereka?
Bagaimana jika aku harus mandi di sungai?
Ah, tak terbayangkan!
Tapi kubiarkan saja pikiran itu melayang - layang di kepalaku.

Dari kampusku, pagi itu aku menyetir mobil Ibu Ninik, bersama dengan beberapa mahasiswa dan dosen di dalamnya.
Mahasiswa lain berangkat dengan bus.
Aku lebih memilih menyetir daripada duduk di belakang, tak nyaman bagiku.

Sekitar 3.5 jam kami sampai di daerah Vanlith, sebuah sekolah yang menurutku 'wow', boarding school dengan nilai - nilai katolik.

Lalu setelah menunggu beberapa saat,kami melanjutkan perjalanan ke atas.
Kami disambut o/ Rm Mulyono dan Rm Luhur di Kapel St Yusuf, Juwana.
Sederhana, dengan kursi - kursi panjang seadanya. Tak ada piano atau keyboard, tapi aku melihat satu set gamelan!
Ah, menyenangkan rasanya.
Panas dan debu tak membuat kami antipati.
Aku dan beberapa teman serta mahasiswa ditempatkan di daerah Ngargomulyo, 7 km dari puncak Merapi!
Pasti menyenangkan sekali, pikirku!

Kulanjutkan menyetir ke atas. Stelah pembagian tempat tinggal, kamipun pulang dan beristirahat.
Rumah yang kutempati cukup nyaman.
Ya, kubilang cukup nyaman, sebuah keluarga katolik yang sederhana dengan 2 orang putera.
Pemikiran mereka pun sederhana.
Kami beristirahat di lantai atas. Hanya tempat itu yang berkeramik, lantai dasar tak bertegel.
Pada awalnya, aku mengernyitkan dahi. Toiletnyapun sederhana.
(Untung aku tak harus mandi di kali!)

Jam 3 sore kami berangkat ke Kapel wilayah itu. Kapel St. Paulus, Tangkil.
Sederhana, tak jauh berbeda dengan kapel pertama kami singgah.
Anak - anak warga sekitarpun mulai berdatangan.
Kamipun mulai mengajar.
Sekitar 30 an anak berkumpul di situ. Mereka membawa buku dan alat tulis mereka.
Ada yang berjalan kaki, ada yang naik sepeda, dan ada pula yang ikut mobil kami.

Kamipun memulai kelas, dibagi - baginya mereka dalam grup - grup kecil.
Kami bernyanyi dan mengadakan permainan.
Senang rasanya, walaupun Bahasa Jawa kami terbatas dan Bahasa Indonesia mereka juga terbatas.
Yang penting komunikasi kami tetap lancar.
Mereka antusias, lebih antusias daripada murid - murid kami di kota!
Ah, bukankah seharusnya mereka capek, harus berjalan kaki dan masih belajar dengan kami.
Tapi tak ada yang mengeluh!

Mereka merasa happy membaca buku yang kami berikan untuk mereka.

Mereka merasa nyaman bermain games bersama kami.

Mereka merasa excited, bernyanyi bersama kami.

Malam hari, para tetuapun tak kalah semangat!
Mereka juga memiliki antusiasme yang cukup tinggi, sama seperti anak - anak mereka.

Pukul 10 kami baru selesai mengajar.
Beberapa dari kami melanjutkan ikut ronda malam.
Dinginnya angin malam tak mengurungkan niat kami untuk mengitari wilayah itu.
Aku melihat beberapa logo USAID di beberapa tempat tinggal warga.

Terpikir olehku untuk mengikuti program - program sosial atau menjadi sukarelawan seperti ini. Namun, buru - buru kuhapus dari otakku.

Pagi harinya, kami memulai kelas untuk anak - anak lagi. Ada beberapa anak baru.
Ah rupanya mereka juga tertarik untuk ikut kelas kami.
Kami pergi ke arah sungai untuk melakukan kelas alam.
Berjalanlah kami dan anak - anak itu melalui sebuah jembatan dan menyusuri pinggir sungai.
Mahasiswa - mahasiswa kami pun sangat antusias. Anak - anak diperkenalkan kosakata baru tentang benda - benda yang mereka jumpai.
Frase - frase singkatpun kami ajarkan.
Beberapa mahasiswa yang cukup diam di kelasku, beraksi cukup mengagetkan!
Mereka mengajar dengan bersemangat! Alive!

Aku bangga!

Lalu, aku menemui salah seorang host parent untuk membeli cabe, untuk oleh - oleh teman - teman fakultas.
Suami istri itu menyambut kami,
(Saya dan ibu Ninik)
Mereka mengatakan, jika cabe - cabe itu tak perlu dibayar.
Kami memaksa untuk tetap membayar.
Lalu perkataan ibu itu membuatku terhenyak, "Mboten napa - napa, Bu, Gusti mpun maringi berkah gratis, mboten usah mbayar..." (Tidak apa - apa Bu, Tuhan sudah memberikan berkat secara gratis, tidak usah membayar)
Jadi harus dibagi - bagikan...
Air mataku meleleh.
Terharu aku mendengarnya.
Sang Bapak juga menimpali bahwa jika kita punya berkat, harus dibagikan pada sesama, supaya bisa dilipatgandakan. (Lupa bahasa Jawa yang ia katakan, hehe tapi itu intinya..)
Sama seperti ayat yang baru kuterima pagi itu melalui SMS: kamu telah memperolehnya dengan cuma - cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma - cuma (Mat 10 : 7 - 15)
Oh Tuhan, betapa baiknya mereka.
Tulus dan tidak meminta balasan.

Kamipun kembali ke sungai. Di jalan pulang, kami berpapasan dengan beberapa orang. Mereka menyuruh kami untuk mampir.
Gila, pikirku! Mereka tidak tahu siapa kami.
Di kota kehidupan tak seperti ini. Semakin jauh dan tak pernah menyentuh hidup orang lain, itu lebih baik!
Tapi di tempat itu beda.
Mereka juga tak peduli dengan ras dan agama.
Begitu polosnya!
Oh, hidup mereka pun cukup sederhana.
Yang satu panen lombok, yang lain menikmati. Bertukar hasil panen juga. Kadang tak perlu membeli di pasar.
Masih adakah hal itu di kota?
Tak mendapat untung tidak apa - apa!
Ah, prinsip ekonomi macam apa itu?

Hidup berdampingan, natalpun mereka rayakan dengan meriah.
Kata host parents kami
Satu wilayah merayakan natal satu hari berurut-urutan. Ada 7 wilayah. Jadi tanggal 25 mereka ke wilayah 1 dan seterusnya. Dan hari selanjutnya, wilayah yang lain menjadi tuan rumah. Sedang penduduk dari wilayah lain bertandang ke wilayah tuan rumah. Ah, menyenangkan sekali!
Non-katolik pun menyediakan makanan kecil dan minuman.
Hidup mereka gila, pikirku.

Mereka sederhana, mereka hidup bertani dan menambang pasir.
Tak memakai baju bagus, hanya membawa cangkul, bukan laptop atau tas kulit mahal.
Tapi mereka tetap hidup.
Penghargaan mereka juga tinggi terhadap manusia yang lain.
Kasih mereka akan sesama juga besar!
Keinginan mereka untuk maju juga ada...
Mereka mau belajar bahasa Inggris dengan kami.
Mereka mau berkomunikasi dengan orang - orang bule yang datang memberikan bantuan.
Mereka ingin berterima kasih.
Mereka ingin menyambut mereka.
Mereka tak ingin terlihat cuek.
Mereka tak ingin diam seribu bahasa saat orang - orang asing itu datang.
Mereka ingin mengekspresikan isi hati mereka.
Oleh karena itu, mereka mau belajar.

Mereka juga tak canggung jika mereka salah mengucapkan kata.
Kukatakan ini sebagai proses belajar.
Dan kami, kami belajar banyak.
Merekapun juga tetap hidup tanpa barang - barang branded.
Merekapun tetap tahu bagaimana menghargai dan mengasihi.
Merekapun tetap jujur, tetap baik, tetap murah hati.

Sekolah mereka juga bukan sekolah mewah, berharga ratusan dollar atau ratusan ribu rupiah.

Tapi akhlak dan karakter mereka berbicara.

Ingin rasanya aku tinggal lebih lama lagi di sana.

Tak apa jika sedikit kotor,
Tak apa jika sedikit sempit,
Tak apa jika sedikit menyusahkan.

Tapi hatiku damai.

Ya, di lereng Merapi itu, aku belajar banyak!!
Dan semakin aku ingin membagikan ilmuku untuk mereka dengan cuma - cuma...
Kukatakan pada teman - temanku, aku mau seperti ini lagi. Tak perlu dibayar, tak apa.
Kepuasan hati saat melihat mereka bisa mengatakan, "Good morning" dengan tersenyum itu sudah cukup.
Semakin ingin aku mengabdikan diriku untuk menjadi seorang guru!
Batinku puas, hatiku senang.

Sampai jumpa di Lereng Merapi di lain hari!

-thanks †o Faculty of Letters, UNIKA for giving me an incredible chance †o learn a lot of life lessons!-

No comments:

Post a Comment