Friday, April 22, 2011

23:23 Bukan Sebuah Pengakuan Diri!

23:23
Aku melihat angka itu di telepon genggamku.
Membuatku jadi berpikir,
Mustahil jika menunggu telepon itu berdering.
Ataupun menunggu pesan masuk.
Akankah?
Tidak mungkin.
Semakin mendekati angka 00, tak mungkin mengharapkan teleponku berdering.
Jam - jam itu menunjukkan jam - jam istirahatnya.
Ah, ku tak mau patah semangat.
Ku tetap mau memiliki iman yang teguh.
Jika tak ada hari ini, pastilah ada esok hari.

Ya, masih ada esok hari.
Mungkin aku terlalu merindukan saat - saat itu!
Ah, sekarang aku menjadi terlalu melankolis.
Terlalu sensitif dan berapi - api.
Sudah lupa mungkin dengan apa yang pernah ku alami.
Kesakitan itu sudah tidak kurasakan lagi.
Kesedihan itu seolah telah kulupakan.

Ya, ku sedang menunggu Sang Pangeran penunggang kuda itu. (Hahaha, saya tahu ini abad 21! Tak ada Pangeran macam itu!)
Sang Penulis mulai mengumpamakan.

----
Ya,
Sang Pangeran penunggang kuda itu yang telah menyelamatkannya dari penculikan itu.
Ah, sekarang Sang Penulis merasa tidak pandai dalam menata kata - katanya yang semakin menjurus menjadi sebuah dongeng kawakan.
Ya, penculikan itu yang telah menjadikanku seorang sandera.
Yang memberikannya trauma dan kesakitan.
Tapi semua itu telah berganti.
Menjadi sebuah cerita roman antara Sang Puteri dan Sang Pangeran.

Ya, memang Sang Pangeran itu tak begitu rupawan.
Sang Pangeran itu sangat sederhana.
Pakaiannya pun tak begitu rapi.
Tapi apa yang menjadikan Sang Puteri jatuh hati?
Kesederhanaannya
Kesetiaannya
Kemandiriannya
Keteguhannya
Caranya memandang Sang Puteri
Caranya memperlakukan Sang Puteri
membuat Sang Puteri jatuh hati.

Namun, malam ini Sang Puteri tak mendapati Sang Pangeran datang lagi.
Ia bertanya - tanya, kemana perginya Sang Pangeran.
Sedang apa dia?
Sang Puteri hanya bisa bertanya - tanya di dalam hati.

----
Ku tak memberanikan diri untuk mencari tahu.
Ah, mungkin dia sedang kelelahan.
Atau mungkin dia sedang banyak kerjaan.
Urusan ini itu yang tak kunjung selesai.
----

Mungkin itu urusan Raja dan Ratu yang selalu memburu
Atau urusan istana yang mengejarnya ke sana kemari.
Atau dia sudah mulai kehilangan jejak Sang Puteri?
Atau dia sudah tak mengenali Sang Puteri lagi?
Jadi untuk apa dia menyelamatkan Sang Puteri waktu itu?
Atau memang mungkin Sang Pangeran hanya dijadikan Malaikat Sehari oleh Sang Pencipta
Tak diciptakan untuk menjadi Malaikat Seumur Hidup bagi Sang Puteri?

Malam itu Sang Puteri berdoa lagi
Semoga Sang Pangeran tak melupakannya
Semoga Sang Pangeran masih mengingatnya
Sama seperti setiap doa yang diucapkannya
Selalu mengucap syukur saat Sang Pangeran mengirim pesan dan mengajaknya keluar istana.

Entah mengapa, Sang Puteri bisa jatuh hati padanya
Walau banyak pangeran lain yang mendatanginya,
mengajaknya bicara dan mengirim pesan - pesan tak penting.
Lebih tampan memang, dengan kuda yang lebih kuat dan besar.
Namun itu semua tak membuat Sang Puteri bergeming.

Ah, hingga akhir cerita, Sang Puteri masih bertanya - tanya dalam hati
di mana Sang Pangeran hari itu?
Bagaimana hari Sang Pangeran?
Menyenangkan kah?
Membosankan kah?
Atau terlalu sibuk?
----

Ku tak memberanikan diri untuk mengirim pesan atau meneleponnya.
Takut berlebihan!



Bukan Sebuah Pengakuan Diri!



Linggayani Soentoro
22 September 2010, 12:53 AM

No comments:

Post a Comment