Tuesday, August 16, 2011

Hari Ini

Sudah lama sekali rasanya,
Aku tak pernah duduk di pojokan sebuah kafe, tanpa terbeban apapun!
Sudah lama sekali rasanya,
Aku bisa menikmati 'me-time', tanpa ada urusan dan pekerjaan yang sedang menunggu.
Asyik sekali rasanya, mendengarkan musik jazz dan klasik, lalu menulis (mengetik lebih tepatnya).

Ya, hari ini...
Ku duduk di sebuah pojokan kafe, dengan sebuah donat cokelat dan es cappucino.
Biasa memang, tidak ada yang spesial.
Akupun sebenarnya juga tak begitu menyukai donat atau cake, dan segala roti manis.
Tapi aku mau sesuatu yang beda hari ini.

Baru saja aku membeli beberapa buku di toko buku di atas kafe ini.

Beberapa untuk tugas kuliah dan beberapa lainnya untuk menambah koleksi perpustakaan pribadi.

Ku membeli buku - buku itu, teringat aku dengan peristiwa kemarin.

Flashback peristiwa kemarin,
Ya, bukan hari ini, tapi kemarin....!

Ibu (ku sebut beliau Ibu saja lah, tak perlu kubeberkan pangkat dan title-nya, apa lagi namanya) mengatakan padaku, "Kamu itu persis seperti saya! Makanya aku tresno (suka,cinta-Javanese) sama kamu, Non. Iya ya iya, enggak ya enggak. To the point gitu loh, jadi nggak buang waktu, saya suka itu!"

Akhirnya ku menemukan (lagi) kemiripan dengan seseorang. Tak heran, cocok!
Aku bisa menerima perspektif beliau dengan baik, memaparkannya dan mengerti maksudnya.
Walaupun sedikit kurang 'well-organized', tapi aku mengerti (aku juga bukan pengikut hukum 'normatif dan linear', yang kaku dan tak bisa dibantah, terlalu formal dan terstruktur! Aku benci pola, kurang fleksibel menurutku).
Ya, kata beliau, "Pendidikan kita itu terlalu normatif, kadang teoritis, jadi kadang kehilangan esensinya."
"Teori sih boleh, tapi kalau nggak diimplementasikan, bohong besar lah!"
Begitu kira - kira.
Aku mengangguk - angguk setuju.

"Habis ini kamu ambil S3 aja! Toh yang kamu paparkan barusan itu bisa dijadikan disertasi, terlalu dalam itu untuk sebuah thesis S2."
"Disederhanakan saja lah, ini kupinjami buku - buku saya, siapa tahu bisa."

Ada 14 buku tebal yang aku bawa pulang.
Dan aku pun masih harus membeli buku - buku lain.
Ah, apa ada ya, yang suka dengan kehidupan yang penuh dengan buku seperti ini? Atau jangan - jangan cuma aku? (Sebenarnya, akupun tak begitu suka, haha,... Tapi aku cukup menikmatinya!)

Ah, kata - kata beliau di atas belum menohokku.
Saat ku katakan bahwa aku tak mau ambil S3, karena 'takut' kehilangan image dan perspektif orang - orang mengenai 'pendidikan yang ketinggian', dan nggak merit - merit, Ibu pun mengatakan, "Ah, for me, when you get married, that's the end of your life!" (Nah, ini yang membuat saya tersentak! Ternyata ada perspektif seperti ini, yang sudah eksis di generasi sebelum aku lahir)
Lalu saya berteriak kecil dengan reflek, "What? Kok bisa?" (Padahal aku pun sebenarnya mengiyakan hal itu)
"Iya lah, saya aja merit umur 27, dan saya tidak menyesal, karena saya puas dengan masa muda saya!"
"Hello Ma'am, I'm 27 this year! And if I should take Phd, I will spend another 2 years!"
"Ya tapi melihat potensi, saya rasa sih kamu bisa ya? Masa nggak kepengen sih?"
"Nggak bu, saya sama sekali nggak pengen,"
Saya nggak mau jadi gila, kebanyakan teori dan penelitian, buku - buku yang harus saya lahap, oooh, aku tiba - tiba membayangkan hidupku yang tampak cukup 'miserable'. Saya pengen tetap humanis, gila dikit, lucu dikit, 'pervie' dikit, autis dikit, have fun dikit, dan dikit dikit yang lain.
Takut aku, kalau semakin 'dikit' yang bisa mengerti jalan pikiranku, dan semakin 'dikit' orang yang menganggapku waras dan asyik.
Dan takut kalau rambut di kepalaku ini semakin 'dikit' pula...

Aku masih ingin merasakan kehidupan normal, menjadi seorang istri dan ibu, mengasuh anak - anakku, mengurus rumah tangga. Pikirku di hari - hari kemarin, jika memang aku harus meninggalkan bisnisku, dan meneruskan karierku sebagai pendidik untuk anak - anakku sendiri, aku rela! Akan kubuang mimpi memiliki sebuah sekolah itu jauh - jauh.

Tapi itu tak kuungkapkan pada Ibu.
Aku tahu, kami berdua sama - sama idealis. Kalau kuungkapkan, pastilah akan menjadi wacana yang panjang!

Di akhir pembicaraan kami,
Beliau mengatakan, "Tapi sekarang saya ini sedang menapaki kehidupan yang nyata, saya itu juga seperti kamu, terlalu positive thinking, cuek sama gosip, terlalu baik kata orang. Padahal, kehidupan itu nggak seperti itu, Lingga!
Banyak orang yang kita baik sama mereka aja, mereka masih bisa jahatin kita. Kata suamiku, saya terlalu pemaaf, nrimo dijahatin orang. Ternyata, saya masih dihadapkan dengan hal seperti ini. Sekarang saya jadi lebih realistis."

Ya, dalam hatiku, ku katakan bahwa aku tidak lagi sama dengan beliau, karena aku mau mengubah fase hidupku.
Ya, kuubah itu. Seperti saat kubuang jauh - jauh mimpiku sekolah di Amerika!

Banyak hal yang kita diskusikan kemarin, walaupun di jalan pulang aku kehujanan.

Dan tiba - tiba semua itu aku pikirkan hari ini, ya, hari ini, di pojokan sebuah kafe.

Jika kemarin ku sempat berpikir, kita sama,
Hari ini aku berkata lain, kita beda, Ibu!

Ya, hari ini ya hari ini,
Kemarin ya kemarin.
Tak ada yang sama!
Semuanya beda :)

Tapi tetap, aku tetap sejalan denganmu, Ibu.

Ginjal

Nephrotic Syndrome, awalnya istilah itu asing di telingaku.

Dan saat aku mendengarnya, hatiku berdebar kencang. Pikirku, penyakit apa itu?
Wah, tak pernah sekalipun sakit (paling parah sakit radang tenggorokan), sekalinya sakit, dapat penyakit yang namanya keren (berbeda dengan 'batuk pilek', 'masuk angin', 'cacar' dan 'sakit hati')

Dokter pun mengatakan, "Wah, 1 stage lagi, kamu gagal ginjal nih?"
"Apa dok??" Tanyaku tak percaya.
Pikirku, aku tak merasakan apapun, hanya saja urinku berbusa dan hasil laboratorium mengatakan, ada kandungan protein di urinku.
Memang sih, tubuhku lemas, gampang terengah - engah, dan cepat sekali merasa capek.
Tapi pura - pura saja kututupi semua itu. Aku berusaha menahannya.

Masih sempat aku berdebat, tak mungkin, aku tak pernah macam - macam.
Yang kupikirkan saat itu hanyalah pembuktian bahwa kertas - kertas itu salah dan hasil pemeriksaan dokter juga salah (untung, aku tak mau jadi dokter, pernah ku dipaksa papa untuk masuk kelas IPA, supaya melanjutkan sekolah kedokteran beliau yang terhenti karena masalah ekonomi - bisa diragukan pula kredibilitasku menjadi seorang dokter, oleh seorang pasien gila seperti aku)

Haha...
Lalu seminggu di rumah, tak menghasilkan kemajuan berarti. Protein di tubuhku menurun dan siklus bulananpun datang tak tahu diri. Droplah kesehatanku.

Teman - temanku pun mulai berdatangan, murid - murid dan orang tua mereka pun melihat kondisiku.
Mereka heran, katanya, "Superman kok sakit?"

Ada pula yang berkata, "Miss, jangan mati duluan, belum merit toh?"
Hahahahaa, dalam sakit aku masih tertawa.
Ku balas saja, "Nggak lah, makanya, kalo ke sini jangan bawa bunga, lagian Miss Lingga blom mau mati, masa ntar di batu nisan tertulis, born virgin, live virgin and die virgin, kayak Mother Mary aja."

Tanpa merasa sakit sedikitpun, (hanya lemas, swear!) Aku dirujuk ke Rumah Sakit.
Ada orang tua sahabatku yang menganjurkan itu.

Ah, gila, aku tak pernah rawat inap. Tak mau aku.
Sedikit phobia dengan rumah sakit.
Bagiku, tak kan pernah sehat aku, jika tinggal di rumah 'sakit'. Ada nggak ya, rumah sehat? (Aliran positive thinker)

Akhirnya, nasibku memang buruk saat itu. Dibawanya aku ke rumah sakit terdekat, supaya mama mudah mengunjungi aku.

Diberinya aku injeksi dan obat - obatan. 3 hari pertama, hidupku cukup 'miserable'.
Hari ke 4 aku mengalami sesak nafas yang tak tertahankan.
Ku pencet bel untuk memanggil perawat.
Disiapkannya tabung oksigen, masker oksigen dan selang - selang plastik (pikirku, "Wah, seperti di film - film melodrama)
2 menit setelah dipasangnya oksigen di hidungku, aku tetap merasa sesak. Kulepaskan selang - selang sialan itu.
Kupencet bel memanggil perawat. Ku katakan padanya dengan susah payah, aku sudah tidak bisa bernafas, perutku membesar, rasanya penuh dengan air.
Kutanya, kapan dokter datang, dia menjawab, nanti jam 4.
Wah, aku keburu mati. 4 jam lagi!
"Telponkan dokter sekarang!" Teriakku panik.
Lalu 20 menit kemudian, kembalilah dia dengan membawa suntikan injeksi. Tak tahu cairan apa yang dimasukkan dalam tubuhku. Aku menurut saja.
Dokter pun datang, keluargaku pun beraksi (keluarga di sini adalah mama, om dan tanteku, serta sahabat - sahabatku, papa harus tinggal di rumah, kasihan, susah payah jadinya jika harus ke rumah sakit dengan kursi roda)

Ah, gila saja, batinku!
Diberinya aku 5 macam obat dan 2 injeksi!
Sudah mulai membaik, ku ambil Blackberry-ku, lalu ku 'google' nama - nama obat itu.
3 untuk maag, 2 untuk ginjal, dan 2 injeksi untuk maag dan mengeluarkan cairan yang membuat tubuhku membengkak.
Ku coba baca, sebenarnya apa penyakit ini. Bukan, bukan penyakit, masih syndrome, kumpulan gejala.
Gejala gila!
1 minggu tiap malam, teman baikku menjagaku di rumah sakit. Ah, tak punya saudara, tapi ku punya sahabat - sahabat yang mencintai aku.
Sang sahabat yang berprofesi sebagai nutritionist di negeri sebrang pun beraksi, mengirimiku the do's and the ∂σи'т's masalah nutrisi.

Dan selama seminggu itu pula, asupan gizi yang kuterima dari rumah sakitpun, salah total, pantas saja dengan cepat berat badanku menurun.
Diberinya aku makanan untuk orang berpenyakit ginjal beneran (karena penyakitku ini masih tergolong pura - pura)

Gila!
Botol - botol albuminpun sudah kuhabiskan. 7 tepatnya. (Ditambah 2 yang kudapat di rumah)
Mahal! Tapi jadi tak mahal karna ku butuh!

Asupan albumin dan sari ikan tak mengembalikan tingkat protein dalam tubuhku.

Jujur saja, memang aku tak pernah jadi dokter, (dan tak akan pernah mau)
Tapi karena aku sok tahu, ku katakan saja,
Ginjal bocor kok tidak diobati dulu, baru diberi albumin.

Gila, asuransi kesehatanpun aku tak punya, dan mereka memberikan tablet dan kapsul gila dengan harga selangit, plus cairan infus untuk menambah protein dalam tubuhku!!
Bisa jalan - jalan ke luar negeri aku dengan duit itu!

Ah, tidak.. Aku tak menghitung banyaknya uang yang sudah dikeluarkan.
Hanya saja ku mempertimbangkan banyaknya substansi - substansi tak jelas yang masuk ke dalam tubuhku.

Dasar gila pikirku, hingga hari terakhir, aku harus pulang paksa.
Tak ada kemajuan berarti.

Pergilah aku ke negeri tetangga, sama seperti pejabat - pejabat gila yang melarikan diri dengan alasan medical check-up. (Harusnya mereka perlu mendapat mental check-up juga!! Sehingga tak merampok uang negara. Memang mereka gila!)

Maaf, aku jadi mengata-ngatai mereka..

Ya, dan dokterpun berkata,
Well, we'll not play w/ your money. Trust me, we do follow the procedures.

Ya, tapi hanya segini uangku, tak mau aku biopsy atau apa lah itu.
Cek lab saja, plus konsultasi.
Belum lagi obat.
Mulai deg - deg an jantungku.

Pemeriksaan pun dilakukan menyeluruh. Pertanyaanpun sangat mendetail.
Lab check pun menyita banyak darahku.
Tes ini dan itu.
Sangat profesional!

Setelah beberapa jam aku menunggu sambil makan siang di cafetaria, aku menemui dokter itu. Diberinya aku penjelasan menyeluruh dalam bahasa Inggris, lisan dan tertulis!
Katanya, nephrotic syndrome ku masih di early stage!!
Dan dengan kondisiku yang seperti ini, cepat pulih!
Ah, sangat encouraging.
Dan ku tanyakan, banyak pertanyaan.
Lalu kudengar pernyataan, "well, the treatment you got was not really necessary."
Dalam hati aku mengumpat, "shit!"

Tapi kuhibur diriku sendiri..
Tak apa lah, meditasi di rumah sakit dan mengasingkan diri sejenak dari rutinitas memberiku ruang gerak. Paling tidak aku belajar banyak.
Belajar akan hidup, pengalaman dengan pasien sekamar, pengalaman dan ketakutan saat menghadapi semuanya sendirian, memaksakan diri untuk berani melawan sakit ini...

Dan inilah sekali lagi ungkapan dari dalam hati saya yang paling dalam bagi kalian yang telah membantu, mendoakan, mengunjungi, menemani, memberikan semangat, membuat segalanya lebih baik... Air mata dan senyum kalian tetap akan saya kenang...

Terima kasih Papa, Mama, Om, Tante, sepupu, Nuarita, Carmelita and fam, Chika Hermosa and fam, Marthani, Herry Yudhianto,Armand, sahabat - sahabat lain yang tak dapat sy sebutkan satu per satu,
Grace Christy Bella (thanks for your companion in SG),
Oreo and Quaker Team,
Teman - teman, dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Sastra UNIKA, guru - guru dan murid - murid Tri Tunggal, alumni Sedes, para murid dan orang tua EduHouse, teman - teman UNNES A2, kerabat dekat yang tak dapat saya sebutkan satu per satu, NHG, NUH, teman - teman perawat RS Telogorjo SMG, team pendoa GKJ, Isa Almasih, St. Familia Atmodirono, Randusari, dan gereja - gereja lain yang tak dapat sy ingat namanya :),
Kairos Gracia teachers (thanks for ur prayers),
EduHouse teachers,
dr Sonya, dr Jimmy Teo & Alice, dr Lestariningsih.

TERIMA KASIH

Ing Ereng - Erenging Redi Merapi (di Lereng Gunung Merapi)

"Badhe Pinarak, Mbak!"
Kalimat pendek nan ramah yang selalu ku dengar saat ku berpapasan dengan penduduk lereng Merapi.
Ngargo Mulyo nama desa itu.
Ingin ku ke sana lagi!

Awalnya aku merasa sedikit ragu, bisakah aku tinggal dengan mereka?
Bagaimana jika aku harus mandi di sungai?
Ah, tak terbayangkan!
Tapi kubiarkan saja pikiran itu melayang - layang di kepalaku.

Dari kampusku, pagi itu aku menyetir mobil Ibu Ninik, bersama dengan beberapa mahasiswa dan dosen di dalamnya.
Mahasiswa lain berangkat dengan bus.
Aku lebih memilih menyetir daripada duduk di belakang, tak nyaman bagiku.

Sekitar 3.5 jam kami sampai di daerah Vanlith, sebuah sekolah yang menurutku 'wow', boarding school dengan nilai - nilai katolik.

Lalu setelah menunggu beberapa saat,kami melanjutkan perjalanan ke atas.
Kami disambut o/ Rm Mulyono dan Rm Luhur di Kapel St Yusuf, Juwana.
Sederhana, dengan kursi - kursi panjang seadanya. Tak ada piano atau keyboard, tapi aku melihat satu set gamelan!
Ah, menyenangkan rasanya.
Panas dan debu tak membuat kami antipati.
Aku dan beberapa teman serta mahasiswa ditempatkan di daerah Ngargomulyo, 7 km dari puncak Merapi!
Pasti menyenangkan sekali, pikirku!

Kulanjutkan menyetir ke atas. Stelah pembagian tempat tinggal, kamipun pulang dan beristirahat.
Rumah yang kutempati cukup nyaman.
Ya, kubilang cukup nyaman, sebuah keluarga katolik yang sederhana dengan 2 orang putera.
Pemikiran mereka pun sederhana.
Kami beristirahat di lantai atas. Hanya tempat itu yang berkeramik, lantai dasar tak bertegel.
Pada awalnya, aku mengernyitkan dahi. Toiletnyapun sederhana.
(Untung aku tak harus mandi di kali!)

Jam 3 sore kami berangkat ke Kapel wilayah itu. Kapel St. Paulus, Tangkil.
Sederhana, tak jauh berbeda dengan kapel pertama kami singgah.
Anak - anak warga sekitarpun mulai berdatangan.
Kamipun mulai mengajar.
Sekitar 30 an anak berkumpul di situ. Mereka membawa buku dan alat tulis mereka.
Ada yang berjalan kaki, ada yang naik sepeda, dan ada pula yang ikut mobil kami.

Kamipun memulai kelas, dibagi - baginya mereka dalam grup - grup kecil.
Kami bernyanyi dan mengadakan permainan.
Senang rasanya, walaupun Bahasa Jawa kami terbatas dan Bahasa Indonesia mereka juga terbatas.
Yang penting komunikasi kami tetap lancar.
Mereka antusias, lebih antusias daripada murid - murid kami di kota!
Ah, bukankah seharusnya mereka capek, harus berjalan kaki dan masih belajar dengan kami.
Tapi tak ada yang mengeluh!

Mereka merasa happy membaca buku yang kami berikan untuk mereka.

Mereka merasa nyaman bermain games bersama kami.

Mereka merasa excited, bernyanyi bersama kami.

Malam hari, para tetuapun tak kalah semangat!
Mereka juga memiliki antusiasme yang cukup tinggi, sama seperti anak - anak mereka.

Pukul 10 kami baru selesai mengajar.
Beberapa dari kami melanjutkan ikut ronda malam.
Dinginnya angin malam tak mengurungkan niat kami untuk mengitari wilayah itu.
Aku melihat beberapa logo USAID di beberapa tempat tinggal warga.

Terpikir olehku untuk mengikuti program - program sosial atau menjadi sukarelawan seperti ini. Namun, buru - buru kuhapus dari otakku.

Pagi harinya, kami memulai kelas untuk anak - anak lagi. Ada beberapa anak baru.
Ah rupanya mereka juga tertarik untuk ikut kelas kami.
Kami pergi ke arah sungai untuk melakukan kelas alam.
Berjalanlah kami dan anak - anak itu melalui sebuah jembatan dan menyusuri pinggir sungai.
Mahasiswa - mahasiswa kami pun sangat antusias. Anak - anak diperkenalkan kosakata baru tentang benda - benda yang mereka jumpai.
Frase - frase singkatpun kami ajarkan.
Beberapa mahasiswa yang cukup diam di kelasku, beraksi cukup mengagetkan!
Mereka mengajar dengan bersemangat! Alive!

Aku bangga!

Lalu, aku menemui salah seorang host parent untuk membeli cabe, untuk oleh - oleh teman - teman fakultas.
Suami istri itu menyambut kami,
(Saya dan ibu Ninik)
Mereka mengatakan, jika cabe - cabe itu tak perlu dibayar.
Kami memaksa untuk tetap membayar.
Lalu perkataan ibu itu membuatku terhenyak, "Mboten napa - napa, Bu, Gusti mpun maringi berkah gratis, mboten usah mbayar..." (Tidak apa - apa Bu, Tuhan sudah memberikan berkat secara gratis, tidak usah membayar)
Jadi harus dibagi - bagikan...
Air mataku meleleh.
Terharu aku mendengarnya.
Sang Bapak juga menimpali bahwa jika kita punya berkat, harus dibagikan pada sesama, supaya bisa dilipatgandakan. (Lupa bahasa Jawa yang ia katakan, hehe tapi itu intinya..)
Sama seperti ayat yang baru kuterima pagi itu melalui SMS: kamu telah memperolehnya dengan cuma - cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma - cuma (Mat 10 : 7 - 15)
Oh Tuhan, betapa baiknya mereka.
Tulus dan tidak meminta balasan.

Kamipun kembali ke sungai. Di jalan pulang, kami berpapasan dengan beberapa orang. Mereka menyuruh kami untuk mampir.
Gila, pikirku! Mereka tidak tahu siapa kami.
Di kota kehidupan tak seperti ini. Semakin jauh dan tak pernah menyentuh hidup orang lain, itu lebih baik!
Tapi di tempat itu beda.
Mereka juga tak peduli dengan ras dan agama.
Begitu polosnya!
Oh, hidup mereka pun cukup sederhana.
Yang satu panen lombok, yang lain menikmati. Bertukar hasil panen juga. Kadang tak perlu membeli di pasar.
Masih adakah hal itu di kota?
Tak mendapat untung tidak apa - apa!
Ah, prinsip ekonomi macam apa itu?

Hidup berdampingan, natalpun mereka rayakan dengan meriah.
Kata host parents kami
Satu wilayah merayakan natal satu hari berurut-urutan. Ada 7 wilayah. Jadi tanggal 25 mereka ke wilayah 1 dan seterusnya. Dan hari selanjutnya, wilayah yang lain menjadi tuan rumah. Sedang penduduk dari wilayah lain bertandang ke wilayah tuan rumah. Ah, menyenangkan sekali!
Non-katolik pun menyediakan makanan kecil dan minuman.
Hidup mereka gila, pikirku.

Mereka sederhana, mereka hidup bertani dan menambang pasir.
Tak memakai baju bagus, hanya membawa cangkul, bukan laptop atau tas kulit mahal.
Tapi mereka tetap hidup.
Penghargaan mereka juga tinggi terhadap manusia yang lain.
Kasih mereka akan sesama juga besar!
Keinginan mereka untuk maju juga ada...
Mereka mau belajar bahasa Inggris dengan kami.
Mereka mau berkomunikasi dengan orang - orang bule yang datang memberikan bantuan.
Mereka ingin berterima kasih.
Mereka ingin menyambut mereka.
Mereka tak ingin terlihat cuek.
Mereka tak ingin diam seribu bahasa saat orang - orang asing itu datang.
Mereka ingin mengekspresikan isi hati mereka.
Oleh karena itu, mereka mau belajar.

Mereka juga tak canggung jika mereka salah mengucapkan kata.
Kukatakan ini sebagai proses belajar.
Dan kami, kami belajar banyak.
Merekapun juga tetap hidup tanpa barang - barang branded.
Merekapun tetap tahu bagaimana menghargai dan mengasihi.
Merekapun tetap jujur, tetap baik, tetap murah hati.

Sekolah mereka juga bukan sekolah mewah, berharga ratusan dollar atau ratusan ribu rupiah.

Tapi akhlak dan karakter mereka berbicara.

Ingin rasanya aku tinggal lebih lama lagi di sana.

Tak apa jika sedikit kotor,
Tak apa jika sedikit sempit,
Tak apa jika sedikit menyusahkan.

Tapi hatiku damai.

Ya, di lereng Merapi itu, aku belajar banyak!!
Dan semakin aku ingin membagikan ilmuku untuk mereka dengan cuma - cuma...
Kukatakan pada teman - temanku, aku mau seperti ini lagi. Tak perlu dibayar, tak apa.
Kepuasan hati saat melihat mereka bisa mengatakan, "Good morning" dengan tersenyum itu sudah cukup.
Semakin ingin aku mengabdikan diriku untuk menjadi seorang guru!
Batinku puas, hatiku senang.

Sampai jumpa di Lereng Merapi di lain hari!

-thanks †o Faculty of Letters, UNIKA for giving me an incredible chance †o learn a lot of life lessons!-